‘Ntah, sudah berapa kali aku menolak,
menghindari, setiap kali ingin pergi melewati tempat kejadian malam itu yang
sampai saat ini meninggalkan luka yang begitu membekas. Pun ketika ingin
mengantarkan pakaian untuk dilaundry di tempat langganan. Jadi, harus mengambil
jalan putar balik untuk mencari tempat laundry lainnya.
Malam ini, tak terelakkan. Saat ini mau
tak mau harus lewat. Kakiku mulai gemetar dengan tiba-tiba. Ka Heni yang saat
itu dengan tiba-tiba juga berucap.
“Aku pengen tahu tek”
DEG
Lidahku kelu untuk menjawab. Ka Heni
langsung berbelok dan singgah tepat di depan gerobak tahu tek. Turun. Lalu
memesan 2 bungkus. Aku sempat bersikeras tidak ingin turun. Dan Ka Heni
tersenyum padaku penuh arti.
“Aku harus banget turun, ya?”
Menyadari antri yang lumayan banyak, aku
akhirnya ikut turun dan mengambil tempat duduk agak ke belakang, untuk
setidaknya membuat pandanganku terlindungi dari tempat di seberang situ.
Denyut nadiku perlahan naik. Aku mulai
merasakan sesak. Aku mengenggam tanganku keras. Menahan tangis yang siap turun
dari sudut mata. Dan, benar saja. Dengan segera, tanpa aba-aba. Air mataku
runtuh dengan seketika. Ka Heni terperangah melihatku dan bertanya dengan raut
iba. Aku menarik nafas kuat.
“Kak, kenapa rasanya trauma ini begitu
melekat?”
Sebelumnya, tak pernah aku sekalut ini.
Hanya karena tahu tek yang kiranya tak memberikan kesan apa-apa kecuali
perasaan kenyang dan nikmat. Ku rasa, malam itu tak bisa membuatku lupa. Malam
yang paling menakutkan. Malam yang membuatku hampir kehilangan harapan. Malam
yang meninggalkan luka begitu mendalam. Dan tentang setiap detik yang terjadi
di antaranya, aku tak bisa lupa bagaimana tawa bisa diubah menjadi duka dalam
sekejap saja.
Satu bungkus tahu tek yang dibawa
pulang, lantas ku siapkan untuk santapan karena kesulitan nafsu makan di
beberapa hari terakhir. Dan untuk pertama kali, setiap suapan tahu tek yang
saat ini ku santapi begitu memilukan hati.

Comments