Skip to main content

Kehilangan


Kehilangan mendewasakan.

Kalimat yang paling sering ku baca. Paling sering ku dengar. Tetapi, benarkah kehilangan memang membuat dampak seajaib itu? Bagaimana bisa?

Kehilangan bukanlah perkara mudah. Kesenjangan yang muncul setelahnya adalah sesuatu yang harus kita perangi dalam diri kita sendiri. Kehilangan dalam bentuk apapun itu. Benar, tak selamanya kehilangan tentang seseorang. Bagi sebagian orang kehilangan harapan adalah suatu hal yang paling menyakitkan. Tak terkecuali aku; yang telah kehilangan harapan dan inilah jawaban dari alasan tulisan ini dibuat.

Harapan memiliki banyak bentuk. Dari harapan akan lulus dari seleksi penerimaan mahasiswa baru, harapan akan lulus dari penerimaan CPNS seperti yang saat ini sedang ramai-ramainya dibicarakan, harapan akan mendapatkan hasil yang memuaskan atas pekerjaan yang telah dikerjakan mati-matian sehingga mendapat pujian dari atasan, dan harapan-harapan lainnya. Lalu, bagaimana jika harapan-harapan di atas tidak berjalan sesuai dengan doa yang telah dipanjatkan siang-malam, tidak sesuai dengan usaha yang telah dilakukan sekuat tenaga, dan banyak pengorbanan lainnya? Bagi yang bertaruh harap besar akan itu semua, benar saja, semakin besar pulalah kekecewaan yang akan diterima. Dan parahnya lagi, ia menyakiti. Parahnya lagi, bisa membuat depresi. Untuk kalimat terakhir, semoga kita tidak separah itu. Namun nyatanya, bisa sedahsyat itulah kehilangan harapan. Namun, Tuhan tidak sekejam itu untuk meninggalkan. Maka diciptakanlah sebuah proses pendewasaan. Bagaimana kita mulai bisa menghadapi perang terhadap diri sendiri, mengevaluasi dan introspeksi, meruntuhkan ego lantas berbenah diri untuk kemudian membangun asa yang sempat runtuh atas kejamnya kehilangan harapan yang tinggi. Prosesnya tentu tak sesingkat bagaimana tulisan ini dibuat. Bagaimana untuk menerima sebuah kehilangan saja pertama kali kita harus menghadapi tahap penyangkalan (denial). Yaitu tahap di mana kita sulit untuk menerima dan terus-terusan berpikir seakan kehilangan tidak pernah benar-benar terjadi. Terkadang masih ada harap-harap dalam diri bahwa ‘ini hanyalah mimpi’. Kita berusaha membuat pertahanan diri untuk tidak langsung jatuh sejatuh-jatuhnya saat kehilangan menghampiri. Penolakan yang akan terus terjadi. Sampai akhirnya, kita marah (anger). Kita sadar bahwa hal yang kita harapkan telah hilang dan memang benar terjadi. Kita bisa menjadi semakin marah jika teman di meja sebelah kita bahkan mendapatkan apa yang kita inginkan dengan usaha yang tak seberapa. Timbullah iri hati akibat dari amarah yang menjadi-jadi. Bahayanya, amarah ini berdampak kepada siapa saja yang ditemui. Lelah dalam amarah, seseorang yang kehilangan akan mencoba melakukan penawaran (bargaining). Bisa dalam ungkapan atau hanya mampu singgah dalam pikiran. Seseorang yang kehilangan pekerjaan karena telah dipecat bisa saja kembali datang ke atasan lantas memohon dan bersumpah dengan janji-janji yang mulai dilontarkan seperti “Tidak bisakah saya diberikan satu kesempatan lagi? Saya berjanji akan memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya”. Dan yang hanya singgah dipikiran, akan bermain dengan “seharusnya saya seperti ini..”, “seandainya saja saya begini..”, “kalau saja saya saat itu tidak seperti itu..”. Penyesalan menjadi-menjadi. Benar-benar menyiksa. Separah itu hingga bisa membuat depresi (depression). Atas segala penyangkalan, rasa marah, hingga penyesalan yang berkepanjangan, tumpahlah tangisan, rasa duka dan rasa pengkhianatan. Kehilangan pekerjaan, kehilangan status, kehilangan seseorang, bagaimana pun bentuk kehilangan itu, berdampak membuat seseorang kehilangan semangat, rasa percaya diri, pun pengakuan. Menyendiri dan menjauhi keramaian adalah apa yang orang depresi lakukan. Mengisolasikan diri dari kelompok, tentu. Hanya meratapi pahitnya kehilangan dalam kesendirian. Katanya, sungguh tak butuh hiburan. Menyendiri adalah apa yang ia inginkan. Waktu panjang yang telah dihabiskan dengan luka, seseorang yang dikemudiannya mampu mengubah itu semua menjadi energi positif, maka akan bangkit. Ada penerimaan (acceptance) atas keputusan dari perdebatan panjang yang telah terjadi dalam dirinya. Ia mulai membuka pesan-pesan masuk yang sempat diabaikan dengan sengaja. Menelpon balik panggilan-panggilan tak terjawab dari log-nya. Mengatur ulang jadwal dengan teman yang telah berusaha keras mengajaknya untuk pergi. Menata kembali harapan-harapan lain dalam bentuk list-to-do baru bersama semangat baru yang mulai tumbuh dalam rasa percaya diri.

Ketika kita mampu belajar dan mengambil kesimpulan dari sebuah kehilangan, maka kita telah berhasil mengambil maksud dari kalimat pertama yang saya sematkan pada tulisan ini. Pelajaran itu pulalah yang mampu menjadi modal atau senjata untuk peperangan diri jika terjadi lagi. Pasti akan ada hal baru dari bagaimana kita menghadapi kehilangan yang lalu dengan kehilangan yang kembali terjadi. Kembali terjadi? Saya memang tidak pernah menginginkan kehilangan terus terjadi. Namun siapa yang bisa menyangkal kalau kita bisa terlepas dari yang namanya kehilangan? Aku pun kerap kali jungkir balik dibuatnya. Bukankah kalian juga tau kalau semesta memang senang bercanda? Jika kalian mengerti, tentu kalian sudah merasakan balasan dari candaan itu. Maka jangan pernah kalah dengan keadaan. Sabar adalah apa yang agama ajarkan. Aku pun begitu. Atas harapan yang telah hilang, aku pun mulai menata lagi apa yang ingin aku miliki kembali. Kehilangan di waktu lalu yang telah membuatku terluka begitu hebat, tak membuatku gentar untuk menghadapi masa-masa sulit yang kini berusaha mengalahkanku. Tentu.

Kalau kamu, kehilangan apa yang pernah membuatmu terluka begitu hebat dan berhasil mendewasakanmu?

Comments

Popular posts from this blog

Kita dan Restu Semesta

Maaf, jika suatu saat cerita kita hanya tertinggal sebagai sebuah kenangan. Ini semua bukan rencanaku, sungguh. Yang aku tahu hanyalah apa yang tengah kita jalani saat ini adalah apa yang dipertentangkan oleh semesta. Kita sejalan, mereka tidak. Dan bagaimana mungkin kita bisa hidup jika semesta tidak memberikan tempat? Oh, betapa aku mengerti ini semua begitu menyiksa. Aku tak bisa untuk tidak meluapkan tangis setiap kali hubungan kita, tentangmu, diperdebatkan. Aku yang berulang kali harus berpura-pura jika tanpamu aku baik-baik saja di hadapan semesta, begitu terluka. Mengetahui bagaimana kita di masa yang akan datang, membuatku harus memberikan banyak  pain   killer  untuk hatiku. Dan untuk memberitahu padamu bahwa aku telah mengetahui ini semua, aku ingin mati saja. Bagaimana mungkin aku mampu untuk mengatakan padamu agar bisa mengikhlaskanku?  Tidak sekali-dua kali aku melihatmu berjuang dalam ketidakberdayaanmu untuk menghancurkan egoku kala aku seda...

Pa.. Ma..

Ma, seandainya bisa berkata, aku tidak ingin menikah saja. Kehilangan dia membuatku kehilangan asa atas pencarian segalanya. Aku kehilangan tujuan karena pernah membangun harapan dan cita saat bersamanya yang membuatku menguras habis segala kepercayaanku, sehingga ketika ia pergi aku tidak punya alasan lagi untuk apa dan siapa aku harus mengambil langkah dalam hubungan yang baru. Ma, maaf jika kehilangannya membuatku begitu tak berdaya. Tapi aku benar-benar tidak tau lagi bagaimana cara menata kembali hatiku yang masih penuh dengan harapan, ingatan, dan kenangan tentangnya. Membuang itu semua pun sama seperti membunuh diri. Karena hanya harapan dan kenangan itulah yang bisa membuatku setidaknya bisa berdiri hingga detik ini. Menyadari bahwa aku pernah begitu berharga untuk hidupnya. Menyadari bahwa aku pernah dicintai dengan begitu hebatnya. Meski harus usai, jiwaku masih begitu melekat pada setiap kenangan itu. Dan jika harus terus melanjutkan hidup, beginilah adanya hidup ingin ku ...

Berubah Haluan

Dalam beberapa kejadian lampau, banyak, kita sedang larut-larutnya dalam persembahan tawa. Semua itu adalah hal paling menyenangkan untuk kita. Membuat cerita yang membuat iri setiap pasang mata. Kisah kita, begitu istimewa.  Hingga kemudian.. lenyap secara perlahan. Lalu bagaimana dengan saat ini? Aku tak mampu mengambil peran itu lagi. Pun jika aku bisa, kau tak lagi bersedia untuk bergabung bersama. Aku terus berjalan, kau berubah haluan. Kembali ku ajak, langkahmu bertolak. Besok-besok, kita tak lagi berada pada cerita yang serupa. Secepat itu, kita menjadi dua orang yang tak lagi saling sapa. Bukan panggung sandiwara yang pernah kita naiki. Adalah cerita sesungguhnya yang kita miliki. Tapi tujuanmu telah berubah, persinggahan tlah diganti. Sempat pelik dunia kita sampai kau memutuskan untuk pergi. Kau tlah membuat cerita barumu, aku masih dengan cerita dulu. Dunia kita tak lagi saling bersitegang, mungkin. Namun jelas bagiku, tak lagi dalam usaha tuk kembali. ...