00.17 WITA.
Setelah pulang dari Rumah Sakit sejak sekitar jam
20.00 WITA mendatangi ka Putri yang malam itu dinas malam. Sempat singgah
membeli tahu tek untuk cemilan tengah malam sambil menonton film yang telah
direncanakan. Anis yang sedang membuka laptop untuk menyiapkan tontonan kami
setelah membereskan tempat tidur, aku mencuci muka di dapur dengan bunyi keran
yang agak nyaring, tiba-tiba tetangga di sebelah yang saat itu ternyata juga
masih bangun setengah berteriak memanggil nama dari arah dapur.
“Put.. Put..”
Mengira yang beraktifitas saat itu ka Putri (yang saat
itu masih dinas malam di Rumah Sakit). Aku mematikan keran dan menajamkan
pendengaran memastikan panggilan, lalu menjawab sekenanya,
“Ya, bu?”
Ada sahutan dari sebelah menanyakan,
“Kamu lagi masak atau bakar-bakar?” tanya ibunya.
“Nggak, bu” Sahutku.
“Mungkin orang
di belakang kali ya lagi bakar sampah” ibu menjawab dengan nada yang mungkin
saat itu masih bingung dan belum juga membuatku peka.
Aku sempat mengiyakan dan tak banyak ambil pusing.
Setelah mencuci muka dan berganti baju aku ke kamar dan Anis juga sudah selesai
berbenah. Kami siap menonton film midnight dan menyantap tahu tek yang tadi
dibeli. Sampai..
TING.. TING.. TING..
Bunyi batu yang dipukulkan ke tiang listrik depan.
Dibunyikan dengan keras, berulang-ulang, diikuti teriakan,
“KEBAKARAN! KEBAKARAN!”
Aku dan Anis beranjak kaget. Sadar. Menengok ke
ventilasi dapur. Ada api. Api. Tinggi. Tepat di belakang dapur. Sangat dekat.
Atau bahkan tidak ada jarak.
Aku blank. Anis blank.
Sejenak.
Aku berteriak ke Anis.
“Anis! Telpon ka Putri!”
Lalu aku juga mengambil hp dan menelpon orang tua di
Puruk Cahu. Kami hanya memikirkan nama-nama itu. Kami; Aku, Anis, adik-adik ka
Putri yang ibaratkan hanya menumpang karena kebiasaan rutinitas tiap weekend
berkumpul di Banjarmasin, dan saat itu, Ka Putri tidak ada di sini. Ka Putri sedang
dinas dan kami tak tahu arah. Sejak tahu api sudah tak berjarak, tangis kami
berdua sudah pecah. Aku sempat sepersekian detik jengah lalu bertanya-tanya dan
Anis tidak berhenti menangis,
“Apa yang harus kita bawa??”
Kami menyadari tumpukan pakaian yang belum dilipat, langsung
kami pindahkan untuk dimasukkan ke koperku yang saat itu memang belum ku bereskan
sesampai dari Palangkaraya. Kami lalu memasukkan laptop masing-masing ke dalam
tas dan tidak melepaskannya sepanjang kami berbenah. Saat berbenah, api masih
tampak dari ventilasi dapur tapi belum masuk. Menyadari ada gas dengan
keyakinan setelah ini masih sempat mengeluarkan barang-barang, aku mengajak
anis untuk membawa gas terlebih dahulu. Aku dan Anis sempat bingung setengah
mati mau melepaskan selang gas, sampai kami habis akal lalu saling membantu membawa
kompor dan gas dengan selang yang masih tersambung diiringi tangis keras. Kami bawa
keluar dengan setengah berlari dan kami taruh di pojokan yang agak jauh dan
masih sempat kami jangkau. Setelah membereskan kompor dan gas yang membuat kami
takut akan ledakan di dalam, aku dan Anis mau kembali ke dalam untuk membawa
barang, api sudah masuk ke dalam. Aku gemetar luar biasa, shock, tangis semakin kencang, pikiran tidak karuan, takut menjadi-jadi.
Posisinya, kami masih terkepung di halaman depan dan belum sampai ke jalan.
Tetangga berteriak.
“Motor! Motor!”
Aku dan Anis langsung berlari ingat motor yang tadi
kami taruh di depan pintu. Sialnya, kunci tidak ada di tangan. Aku sempat
bersikeras luar biasa memindahkan motor dengan stang yang masih di lock. Anis nekat masuk mengambil kunci yang
untungnya saat itu ditaruh di atas kulkas dekat dengan pintu luar. Anis menyerahkan
kunci dengan segera. Anis lari ke jalan menjauhi api yang semakin menyala. Aku gemetar
memasukkan kunci motor sampai berdesakan dengan tetangga yang juga tengah
menyelamatkan motor. Saat ingin keluar ke jalan, aku sudah tidak bisa melihat
apa-apa. Di depan, di jalan keluar ke jalan raya, kepulan asap sudah luar biasa
pekat. Aku tidak bisa melihat apapun kecuali nyala api di atas-depan yang bisa
saja dalam sekejap runtuh menjatuhiku. Aku menarik nafas kuat. Yang ada,
semakin sesak. Di sekelilingku hanya asap dan asap. Aku tidak punya nyali
sampai aku tidak ingin mati denga lucu di sini.
“KA ANGGI! KA ANGGI!”
Aku dengar suara Anis di luar sana. Tapi aku tidak
melihat apa-apa di depan, aku luar biasa kalut. Lalu, ‘ntah apa yang ku
gumamkan saat itu. Aku menarik gas motor dan berdoa semoga sisa bangunan di
atas kepala tidak jatuh menimpa. Aku menembus asap tebal sampai jalanan dan
hampir saja menabrak tembok rumah orang di seberang jalan. Aku melihat
kiri-kanan yang sudah ramai. Namun masih belum ada pemadam. Aku mencari Anis.
Anis melambai dan memintaku meminggir. Kami mencari tempat yang lumayan aman.
Diam di sana. Sambil menunggu ka Putri datang. Sambil menatap api yang semakin
kejam. Aku dan Anis berpelukan, terus menangis kencang. Sambungan ke orang tua
berlanjut dan aku terus berteriak.
“Mama, gimana ini ma habis ma. Habis semua.” kalimat
yang ku lontarkan berulang-ulang. Anis yang saat itu masih dengan kuatnya
memelukku.
Kami benar-benar tidak membawa apa-apa selain handphone dan laptop yang sejak awal
tidak lepas. Dan motor. Kami melihat ka Putri yang baru datang dan singgah
dekat dengan api. Kami sempat memanggil lalu berlari mengejar. Menangkap dia
yang untuk pertama kalinya ku lihat tatapan kosongnya, tidak peduli apapun di
sekeliling dan hanya bergumam,
“barangku.. barangku..”
Ka Putri terus mencoba melepaskan tangan kami sampai
seorang lelaki tua melarang setengah marah. Kami akhirnya meminggir. Kembali ke
tempat tadi. Kami terus menangis. Ka Putri tidak. Aku bahkan tidak tahu lagi
bagaimana kacaunya raga dan batinnya. Perasaan bersalahku menjadi-jadi.
“Seandainya aku sempat..”
“Seandainya aku sadar lebih awal..”
“Seandainya aku lebih peka..”
“Seandainya aku bisa..”
“Seandainya aku lebih dulu..”
Pemadam sudah mengerahkan segalanya. Warga membantu. Polisi
melakukan penertiban. Wartawan mulai berkeliaran. Sisanya hanya ingin tahu.
Silih berganti sambungan telpon dari satu keluarga ke
keluarga lainnya, dari satu teman ke teman lainnya. Aku bercerita runtut kepada
mereka yang bertanya-tanya. Kakiku tidak henti gemetar. Tangisku sulit sekali
berhenti. Lewat tengah malam, namun manusia semakin bertambah saja.
Kurang dari 1 jam, api padam. Memang cepat. Tapi, jika
kamu mengerti. Kurang dari 1 jam berada di posisi seperti ini adalah waktu yang
amat sangat lama. Setelah api benar-benar dipastikan padam, ka Putri pergi
dengan beberapa temannya menuju lokasi kebakaran sedang aku dan Anis memilih
untuk diam di tempat. Masih menonton lautan manusia. Lalu mulai menyadari, kaki
tak dialasi sendal apapun barang sebelah. Tangan masih gemetar mencengkram erat
tangan Anis. Di 15 menitan kemudian, aku menarik Anis mendekati lokasi,
menajamkan mata mencari Ka Putri di antara orang-orang yang lainnya. Terlihat
lebih dekat, tak ada yang tersisa di atas bangunan yang di jam lalu masih menjadi
tempat aktifitas kami. Lalu terlontar rasa syukur dari beberapa teman kakak,
“Untung kalian belum tidur, ya” Persis seperti yang
orang tua kami ucapkan disambungan telpon barusan. Alhamdulillah.
Setelah tangis sudah sedikit mereda, kami berbincang
mengenai cerita yang baru terjadi. Memutuskan beberapa hal dan membuat sedikit rencana
untuk hari esok. Yang terpenting saat ini, kami sehat dan teman-teman ka Putri
yang selalu siap siaga dengan keleluasaan hatinya memberi kami tempat
beristirahat sampai rencana dan keputusan selanjutnya dibuat.
Musibah, siapa yang tahu kapan terjadi?
- Banjarmasin, 22 Oktober 2018
Ditulis dari segala resah yang terjadi dalam sekejap di sisa malam yang terasa panjang
Ditulis dari segala resah yang terjadi dalam sekejap di sisa malam yang terasa panjang


Comments