Perjalananku
kali ini ditemani mendung yang membuatku melamun hampir di sepertiga
perjalanan. Hujan mulai turun dengan derasnya dan bau basah yang menyejukkan
mulai merebak. Supir mulai menaikkan pelan kaca mobil yang sejak tadi ia buka.
Aku mengganti kacamata minusku dengan kacamata hitam yang ku taruh di pinggir
dan mengatur posisi untuk tidur. Tapi, ini hanyat siasatku saja. Agar tidak ada
yang tahu aku bersembunyi hanya untuk menatap kosong segala yang ada di
depanku.
Ada
pikiran yang timbul, tentang pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya lumayan
meresahkan. Tentang pertanyaan-pertanyaan bahkan pernyataan yang seringkali
hanya ku tanggapi dengan jawaban seadanya dan senyuman yang sebenarnya punya
jawaban panjang di dalamnya. Menjelaskan apapun tentang dirimu bukanlah solusi.
Banyak orang hanya sekedar ingin tahu dan membuatnya menjadi topik dalam sebuah
obrolan di belakang. Bisa hitung jari siapa yang benar-benar mengerti dengan
cara tak bertanya.
Beberapa
tahun lalu aku berada pada posisi terburuk yang menyudutkanku. Menerima
ganjaran dari kesalahan yang orang lain perbuat. Menjadi dampak dari apa yang
orang lain kerjakan. Aku kacau. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku mencoba
berusaha, meminta pertolongan, namun nihil. Aku gagal. Aku bisa merasakan setiap
tatapan kasihan yang mengarah padaku saat aku menerima keputusan hari itu.
Beberapa teman dekat bersuara tentang ketidakadilan yang ku terima. Beberapa
menyabarkanku. Sisanya hanya diam seolah ikut pilu. Setelah hari itu aku pergi
untuk menyendiri. Aku memutuskan segala apapun yang bisa membuatku terkoneksi
dengan dunia luar. Kekecewaan ini bukan hanya tentang takdir yang ku rasa tidak
adil, tapi juga kekecewaan terhadap diri sendiri yang tidak mampu untuk
membiarkan orang tuaku mengetahui kabarku. Jelas, mereka resah dengan
keadaanku. Tapi, saat itu aku benar-benar tidak mampu. Karena aku telah kalah
dengan segala keadaan saat itu. Aku terluka selama 3 bulan. Bulan ke 2 lukaku
mulai memberi toleransi. Aku hanya membuka komunikasi dengan keluarga lalu kemudian
ke teman-teman terdekat. Aku pun mulai mengobatinya dengan kembali ke hobi dan
duniaku sebelumnya. Kembali menerima job-job dan mengisi beberapa event yang
sudah lama ku istirahatkan karena kesibukan pendidikan. Aku berusaha menjadi
positif dan membangun tawa. Aku menjadikan kegiatanku saat itu sebagai obat.
Dan aku benar-benar sembuh. Aku membagikan beberapa momen kegiatanku di sosial
media untuk mereka yang mengkhawatirkanku, memberi isyarat bahwa aku telah
terobati dan kembali bergerak. Tinggal menunggu waktu untuk kembali ke
rutinitas harianku seperti bulan-bulan lalu. Sampai timbul tak sedikit omongan
yang kembali membuatku sedikit terluka.
“Dia lagi di keadaan gitu masih bisa
ya seneng-seneng.”
“Bukannya memperjuangkan apa yang
sudah gagal malah sibuk ngartis lagi.”
Lagi-lagi
tentang apa yang orang lain lihat tidak selamanya menjadi segala apa yang terjadi
sebenarnya. Bagaimana kamu menghadapi kegagalan, berdamai dengan diri sendiri
dan keadaan, dan bangkit lagi. Biarlah jadi ceritamu sendiri atau bagi orang
terdekatmu. Menanggapi tidak akan menyudahinya.
1
tahun setelah kejadian itu, aku sudah terobati meski terkadang masih terasa
pilu kala sewaktu-waktu tentang keadaan itu tak sengaja tersinggung. Aku masih
tak begitu sadar kalau kejadian 1 tahun lalu itu ternyata bisa membawa dampak kembali
sehingga membuatku terancam tidak bisa melanjutkan masa yang sangat ku
nanti-nanti setelah sekian lama. Ancaman itu benar-benar terasa nyata dan
menyakiti. Lagi-lagi pecah tangisku setelah menerima kabar menyakitkan itu. Aku
bersembunyi di balik pintu toilet. Tak sempat untuk menahannya sampai pulang ke
rumah. Untuk ke-2 kalinya aku menerima keputusan yang begitu jahat. Sempat 2
hari suntuk aku uring-uringan. Kembali menyendiri dan berusaha berdamai namun
sulit sekali. Beberapa kali meyakini dan melontarkan kata-kata “pasti ada
hikmahnya..” secara berulang-ulang di kepala, tetap saja aku kecewa
sejadi-jadinya. Sampai di hari selanjutnya aku kembali mencoba berdiri, kembali
membaur dengan yang lainnya. Berusaha untuk baik-baik saja agar kesendirian dan
kesedihan tak lagi merangkulku erat. Dan mencoba ikhlas. Ya, aku berhasil
melakukannya pada hari itu. Hingga di keesokan harinya, keputusan kemarin yang
kuterima dinyatakan tidak diberlakukan lagi. Aku dihubungi untuk tetap bisa melanjutkan
apa yang telah aku kerjakan. Kau tau rasanya? Semesta ini membuatku
jungkir-balik, aku tidak mengerti, aku sangat bersyukur tak henti-hentinya dan
kembali bersemangat. Tuhan masih seadil ini. Aku bahkan ngeri untuk
membayangkan jika aku kembali gagal. Nyatanya ini tidak terjadi. Maka langkahku
begitu mantap.
Untuk
setiap kejadian pilu yang menimpaku dengan tiba-tiba. Pada saat aku
mengingatnya kembali, aku masih yakin bahwa semua ada hikmahnya. Hanya itulah
mantra yang ku punya. Sehingga jika di kemudiannya aku kembali terluka, aku
bisa kuat lebih dari yang sebelumnya.
Cerita
lain tentang masa sekolah, sejak Sekolah Dasar hingga Menengah Pertama aku
dikenal sebagai siswa yang begitu bersahabat dengan Ranking 1. Ya, aku tak
pernah melepaskan Ranking 1. Hingga masuk Menengah Atas aku memupuk prestasi
baik akademik maupun non-akademik. Aktif sebagai bagian inti di 2 organisasi
terpenting di sekolah. Kerap menjadi perwakilan untuk beberapa pelatihan dan
lomba. Mengingatnya saja, aku sudah begitu bangga, Tapi, benar saja. Seperti kata
pepatah tentang hidup bak roda putar. Aku sedang berada pada tempat yang membuatku
gelisah tak henti-henti. Di tahun-tahun ini aku dihadapkan dengan banyak hal yang
membuatku ingin menyerah saja. Aku memupuk kegagalan. Gagal hampir di setiap
aspek. Kekecewaan menyerangku. Setahun belakangan aku merasa kalut dan merasa
bahwa aku tidak pantas di jalan yang saat ini sedang ku jalani. Aku merasa aku
tidak pantas dan meyakini itulan alasan yang menyebabkan keberhasilanku selalu
menghindar dariku. Bertanya pada diri sendiri lantas berbenah. Aku tidak juga
merasa ini bukanlah keadilan.
“Kenapa sih gue bahkan udah
sungguh-sungguh, kerja keras, tapi orang yang lebih bermalas-malasan, yang
kemampuannya jauh di bawah gue, justru dapetin hasil yang memuaskan. Sedangkan gue?”
Tanyaku
saat itu pada salah seorang sahabat yang sedang menemaniku meratapi segala
kesialanku. Aku menumpahkan kekesalan. Bersumpah serapah terhadap orang-orang
yang saat itu dalam kekalutan ku, ku anggap tidak lebih baik dari aku malah
mendapatkan apa yang ku harapkan. Bersumpah serapah akan atasan yang tidak
menghargai kerja-kerasku. Bersumpah serapah terhadap setiap orang yang
memandangku tak mampu. Dengan sisa ketidakberdayaanku, aku masih bertanya-tanya
dan terus merendahkan setiap orang yang ku anggap tak mampu dengan beruntungnya
mendapatkan nikmat mereka. Ternyata, kekalutan membuatku lupa, bahwa setiap
orang memiliki rezekinya masing-masing. Aku tidak mencari solusi, aku hanya
sibuk membandingkan, buta akan rasa syukur.
Di
sisi lain, aku menanggung tak sedikit rasa benci dari beberapa rekan dan
atasan. Aku bukanlah orang yang senang mencari masalah. Terlebih musuh. Aku tidak
suka mengundang rasa benci dan menanamkannya pada seseorang. Aku bahkan lebih
banyak memilih diam pada beberapa orang yang ku segani karena tak ingin salah
dalam bersikap. Aku tak ingin sok akrab sehingga membuat mereka salah
mengartikan maksudku yang sesungguhnya. Pada wajah-wajah yang tak bersahabat,
aku pun memilih untuk tetap tahu diri. Membuat kesan kaku yang sesungguhnya tak
cocok denganku.
Di
tahun-tahun belakangan ini jugalah aku mulai menyadari, bahwa memiliki sahabat
yang ku anggap segalanya pun tak berarti apa-apa. Pada akhirnya aku hanya
berdiri dengan diri sendiri. Tentang sahabat yang selalu ada hanyalah
pengharapan yang sia-sia. Tak semua memang. Karena setidaknya akan ada satu yang
hadir untuk mengerti. aku hanya bisa berterima kasih karena mencoba untuk
menumpahkan keluh kesah hanya membuatku terasa menyedihkan.
“Udahlah. Kaya gue ga tau lo aja. Tar
aja lo cerita kalau udah mood. Palingan lo mau menyendiri kan abis ini. Tapi tolong
ya itu menghilangnya jangan lama-lama. Kalau baikan hubungin gue.”
Seorang
sahabatku mengomel ketika menatapku yang sedang melayu. Aku menanggapinya
dengan senyum dan memastikan bahwa aku akan kembali dengan baik-baik. Harapku hanya
pada dia yang satu-satunya mau mendengar untuk mengerti.
Setiap
kali merenung aku selalu mengingat kembali pesan orang tuaku.
“Kita tidak bisa membuat semua orang
menyukai kita. Bahkan sebaik-baiknya kerja kita, sebaik-baiknya sikap kita,
satu dua pasti ada yang tak suka. Jika mereka menggunjing pilihlah diam. Melawan
hanya akan menimbulkan pertengkaran. Tutuplah telinga akan hal yang tak benar
terjadi. Jika perlu bicara, bicaralah dengan sopan sehingga lawan bicaramu tak
akan sakit hati. Jadilah pendengar yang baik, tapi jangan terlalu ikut campur
dengan urusan orang lain sekali pun teman dekatmu. Berperanlah sesuai porsi.
Jangan membuat orang jera untuk terus mencari dan membutuhkanmu.”
Berlanjut
dengan pertanyaan yang masih menggantung, aku bermain dengan pikirku sendiri.
“Lantas, sudah sepositif itu, kenapa
aku masih kerap gagal?”
Simpang
siur pertanyaan sampai akhirnya aku tak lagi sadar bahwa aku sudah benar-benar
terlelap di balik kacamata hitamku. Dan terbangun saat perjalanan sudah mulai
memasuki kota tujuan, aku melepas kacamata hitamku dan menggantinya dengan
kacamata minus yang sepertinya sudah mulai tak cocok dengan penglihatanku. Namun
padat kota masih tampak jelas.
“Pak, jam berapa sekarang?” tanyaku
sambil menatap beberapa jalanan di depan yang tergenang air setelah hujan reda.
“Kurang 5 menit setengah 6, mba.”
Pada
suatu saat yang lalu, saat semuanya masih dalam luka yang terbungkus rapi, aku
menyaksikan kegagalan lainnya. Namun kegagalan dari seorang teman yang bisa
dibilang mempunyai jalan yang selalu mulus berkat kecerdasan dan
ketrampilannya. Bukan rahasia lagi saat itu dia menghadapi kegagalannya dengan
depresi berkepanjangan. Seorang sahabat lainnya berucap sehingga secara tak
langsung menularkan energi positif padaku.
“Sialnya menjadi seseorang yang terus
beruntung dan berhasil, membuatnya menjadi lemah ketika kegagalan
menghampirinya walau hanya sekali. Justru kekuatan bersama orang-orang yang
seringkali mengalami kegagalan. Kegagalan bukanlah kesialan. Hanya tertunda
untuk kemudian diserahkan kepada waktu yang terbaik.”
Tahun
ini adalah tahun perbaikan. Mengawasi diri sambil membenahi setiap kegagalan
yang telah terjadi. Aku sangat berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Percaya
akan ada hari baik yang menanti dengan sabar. Jadi, seutas pertanyaan kembali
tercipta.
Bagaimana
rasanya menjadi gagal?
Aku
bersumpah. Sungguh, rasanya tidak enak. Namun langkah selanjutnya ada pada
kita. Akankah memberinya dengan energi positif atau negatif?
“Mba, udah sampai.”
Aku
berdecak sesaat lalu kemudian berbenah barang bawaan. Ya, aku sudah tiba di
tempat persembunyian.
Oh,
ya. Aku pikir minus-ku bertambah. Mungkin aku akan segera mengatur jadwal untuk
check up mata.

Comments