Skip to main content

Posts

Showing posts from 2020

Benci Sendiri

Malam-malam tanpamu akan selalu menjadi malam yang sulit. Melewati detik demi detik tanpa kamu di sampingku akan selalu menjadi bagian yang paling aku benci. Sudah ku bilang, everything’s gonna be okay as long as I’m with you. But now I can’t handle this. Cause at the end of the day, I’m alone. Yet I’m broken. Andai saja kamu mengerti akan posisimu, betapa kamu selalu menjadi yang paling aku butuhkan dalam setiap keadaan. Dan memilikimu membuatku mendapat arti akan hari baik dan malam-malam yang menenangkan. Tapi tampaknya kita mengalami miss-persepsi. Dan itu semua menghempaskan segala ekspektasi. Kau dan segala konsepmu tentang bersama yang berbenturan keras dengan pemahaman yang aku miliki. Aku pun kembali menjadi yang paling benci dengan diri sendiri. Tak ada tangis yang bisa tertahan saat malam kembali datang. Aku berperang dengan gelisahku sendiri. Kembali tentang seandainya saja kamu mengerti; hanya hadirmu yang mampu melepas itu semua. Termasuk akan betapa tidak baik-baikny...

Dalam Diam

Menanggung rasa dalam diam, tersenyum setelah kau bertolak badan, memupuk rasa yang kian dalam, adalah pilihan yang selalu aku buat beberapa tahun belakangan. Terdengar singkat, namun sempat tertatih aku hingga menanti kau dapat terpikat. Dalam beberapa tahun terakhir pula aku menjadi begitu pandai berpura-pura. Menjadi pecundang yang senang bergelut dengan tanya. Tanya yang tak kunjung ada habisnya. Tanya yang yang tak kunjung ada jawabnya. Seperti kamu yang tak kunjung datang meski ‘pernah bersama’ adalah sesuatu yang tak sekalipun ada untuk kita sepakati berdua. Aku, adalah seseorang yang padanya kau beri harapan. Sesegera bahagia datang kau hempaskan aku dalam kehilangan. Hingga kau kembali dan aku masih berdiri di sini. Bertanya-tanya akan hal yang sama, nyatanya tak jua aku mampu untuk bicara. Aku, si penikmat sandiwaraku sendiri. Yang hanya dapat meremas jemari di balik baju setiap kali mata kita beradu. Atau beralih menyapu pandang ke sisi ruang saat tawamu yang sesungguh...

Rindu yang Meronta

Kau akan selalu menjadi yang pertama. Yang terbaik dari setiap waktu yang telah terlewati. Meski sulit untuk mengatakannya di waktu yang akan datang, namun namamu tetap tak akan lekang. Pun segala kebaikan dan cinta yang telah kau berikan. Meski tak lagi dalam genggaman, mimpi tentangmu dan kita adalah apa yang akan selalu aku bawa. Sejujurnya aku tak ingin terlihat begitu letih menghadapi perpisahan ini. Namun ternyata bersedih dan meratap akanmu selalu menjadi hal yang ingin aku lakukan. Menangis di sepertiga malam akan selalu menjadi bagian yang ingin aku ulang. Karena hanya dengan mengenangmu rinduku bisa terungkap. Tak seperti biasanya dimana pelukmu lah yang akan datang jika rinduku mulai menggenang. Namun keadaan sudah terlalu murka. Aku tak punya kuasa atas keputusan gila ini. Aku harus merelakanmu meski cinta ini tak bisa bertolak seperti apa yang semesta mau. Aku sangat mengerti akan arti dari tak lagi bersama adalah kamu dan aku yang tak perlu lagi bersua. Aku tau bahwa ...

Jika Diam Lebih Baik

Satu dua kata terlalu mempengaruhi hariku, mengubah segala suasana hati dan mengacaukan segala atensi. Aku sadar, rasa penasaran dan keingintahuanku yang begitu besar kerap kali justru hanya melukai. Namun kiranya aku akan lebih tersiksa jika hanya terus bertanya-tanya. Dan dengan rasa penasaranku yang tak ada habisnya, aku masih menatap matamu dengan senyum yang tak urung. Mengucapkan selamat tidur penuh cinta di setiap malam. Tawamu masih menjadi bagian favoritku, tapi aku bisa saja menangis dengan tiba-tiba di tengah lelucon yang kamu bawa. Aku sadar, aku terlalu bahagia hingga lupa bahwa pernah ada dia yang lainnya. Hingga dini hari mulai beradu dan yang aku tau aku akan selalu memulai ini semua. Sejuta resah itu mencuat dengan hebat, mengisi seluruh ruang di hati dan kepala. Aku bisa saja hancur dalam satu hitungan waktu. Mengingat bagaimana aku sudah tiba pada masa yang pernah begitu aku impikan. Namun dalam keadaan yang tak menyenangkan seperti ini. Jika pada nyatanya kasihku be...

Maaf, Aku Pengecut

Maaf atas aku yang tak cukup baik untukmu. Atas aku yang kerap menyakitimu. Mematahkan semangatmu untuk mempertahankanku. Saat kau menjanjikan perjuangan dan kesetiaan hubungan kita, maaf, karena aku justru sebaliknya. Aku tak begitu pandai dalam urusan setia, apalagi memperjuangkan. Tapi, sungguh, aku tak pernah berbohong perihal aku mencintaimu setulus hatiku. Aku yakinkan itu. Dan akan terus kubuktikan meski caraku tak lebih baik darimu. Atas luka bertubi dan tangis yang sulit dihenti, maaf, sekali lagi. Tak bisa ku balas dengan segala bahagia yang telah kau beri. Aku mulai merasa hampa dan sejujurnya ini begitu sulit untuk ku katakan. Tapi aku tak tahan jika harus terus mendengar harapmu yang tak kunjung bisa ku balas dengan baik. Aku hanya bisa memberikan cinta dan aku bersumpah kasihku pun akan terus mengalir untukmu. Tanpa henti. Bukan tentang tak lagi sayang atau lelah bertahan. Hanya saja, aku pikir, aku tak lagi bisa sejalan dengan langkahmu. Terlalu banyak yang bertola...

Fase Terbaik

Tentang kamu dan kita. Adalah apa yang pernah aku harapkan seolah tak pernah sampai dan ku gapai. Hingga sampai pada hari dimana kau dan aku bertemu dalam satu waktu dan satu rasa. Senyummu, tawamu, aku memiliki bahagia yang kau beri ketika kau ucapkan duniamu adalah tentangku. Apapun peranmu dalam semesta aku yakin aku akan menyanggupinya. Namun eksistensi hubungan ini, seolah meredup seiring berjalannya waktu. Aku kira kita masih dalam zona aman dan nyaman ketika dunia bergerak tanpa kata. Namun ternyata kita terlalu lengah untuk menyadari bahwa terlalu banyak fakta yang kita tidak tahu. Seperti jurang terdalam yang ada pada dunia. Seperti banyaknya kecewa dan air mata yang kita pikir hanyalah bentuk dari surutnya fase kehidupan Hari demi hari, hingga tahun berganti, pelan tapi pasti, ada yang menanti. Perihal kemustahilan, kiranya mulai lekat dengan langkah bersama yang kita impikan. Satu persatu mulai memperlihatkan wujudnya dalam bentuk kesenjangan yang selama ini kita pikir...

Rela dan Iklhlas

Satu bahasan yang tak akan pernah ada habis-habisnya. Bahkan jika dipikir-pikir, masalahnya sama saja. Tentang kerelaan dan keikhlasan. Kenapa? Tidak akan ada kata cukup seberapa matang pun aku atau siapa pun yang memiliki resah dalam satu bahasan yang sama. Tentang rumah dan segala yang ada di dalamnya. Tentang waktu. Ada beberapa pemikiran yang tak sampai jika disinggung tentang hal yang sama. Hingga resah yang ada tetap tak bisa diterima semuanya. Lagi pula resah ini belum tentu milik semua orang. Ini hanya tentang aku. Dan suaraku. Akan resahku.  Getir jika mengingat seberapa seringnya aku merasa takut diri menghadapi hari dimana aku harus pergi lagi. Setiap kali selalu begini. Tentu saja tak ada yang tahu betapa ini menjadi sesuatu yang tak pernah mudah untuk dilewati. Cemas. Gelisah. Lagi, resah.  Jika ada satu pintasan yang tercipta atau yang bisa ku buat, mungkin sejak dulu aku tak perlu sesusah ini untuk memperjuangkan sebuah keikhlasan. Sedang pintalan ...