Malam-malam tanpamu akan selalu menjadi malam yang sulit. Melewati detik demi detik tanpa kamu di sampingku akan selalu menjadi bagian yang paling aku benci. Sudah ku bilang, everything’s gonna be okay as long as I’m with you. But now I can’t handle this. Cause at the end of the day, I’m alone. Yet I’m broken.
Andai
saja kamu mengerti akan posisimu, betapa kamu selalu menjadi yang paling aku
butuhkan dalam setiap keadaan. Dan memilikimu membuatku mendapat arti akan hari
baik dan malam-malam yang menenangkan. Tapi tampaknya kita mengalami
miss-persepsi. Dan itu semua menghempaskan segala ekspektasi. Kau dan segala
konsepmu tentang bersama yang berbenturan keras dengan pemahaman yang aku
miliki. Aku pun kembali menjadi yang paling benci dengan diri sendiri.
Tak
ada tangis yang bisa tertahan saat malam kembali datang. Aku berperang dengan
gelisahku sendiri. Kembali tentang seandainya saja kamu mengerti; hanya hadirmu
yang mampu melepas itu semua. Termasuk akan betapa tidak baik-baiknya aku.
“Nggak
papa?” Tanyamu.
Everything’s
goes wrong when you’re not here. Aku akan selalu kenapa-kenapa and I’ve told
you this for a thousand times. Aku akan kacau, aku akan menggila, aku akan lupa
bahwa aku masih bisa bahagia. Aku akan terpuruk sendiri. Aku akan menangis
sendiri. Aku akan bangun sendiri. Dan itu semua membuatku begitu takut. Takut
ini semua akan terus terjadi dan akhirnya aku lupa bagaimana rasanya
membutuhkan karena terlanjur kerap kali bangun sendiri.
Bisa
ku katakan, sebelum kamu ada —benar, iya— aku selalu mencari hening dan sepi.
Sendiri menjadi waktu-waktu yang paling aku senangi. Sangat. Namun saat kau
datang dan berjanji akan kita, aku menjadi terganggu dengan itu semua. Segala
hal tentang sendiri mendadak menjadi bagian yang paling mengerikan.
Semengerikan itu karena aku bisa melukai diri karena saking mengacaunya. Duka
berpesta pora. Kau tak ada.
Lagi;
seandainya kamu bisa mengerti, seandainya kita sepaham, pintaku ini cukup
sederhana. Jika kau pergi, tolong bawa aku. Bahkan ke tempat tertidak
menyenangkan sekali pun, I’ll go there with you. Karena menjadi sendiri adalah
hal yang selalu ingin aku hindari. Gelisahku ketika kamu pergi menjadi-jadi.
Amarah akan diri sendiri menjadi semudah ini meletup-letup. Tak jelas. Hingga
kepergianmu pun akhirnya menjadi salah satu penyebabnya. Biasnya aku, diriku.
Mulailah perang dengan diri sendiri. Usik tenangku.
Tahan,
bujukku pada pikirku. Namun sia-sia, atau jika kena, benar-benar tertahan
segalanya. Tertahan pula pikirku untuk memberi kabar padamu. Atau hanya sekedar
membalas pesanmu. Apalagi mengangkat teleponmu.
“Kabarin
aku kalau kenapa-kenapa.”
I
won’t tell. Tidak akan. Sekali jari jemariku mengetik pesan atau melakukan
panggilan padamu, detik itu pulalah hancur pertahananku, hancur egoku,
kelimpunganlah kamu. Karena aku akan berlari saat itu juga, mengejarmu,
memelukmu dengan erat, tumpahlah segala rasa, dan dalam waktu yang tak terduga
kau bisa saja hilang dengan tiba-tiba akibat aku yang menggila. Dan aku tidak
ingin. Sesungguhnya, mengatasiku tidak mudah, bisa membuat lelah, atau bahkan
menyerah. Aku tidak ingin kamu merasakan itu semua. Karena biasnya bukan hanya
kamu. Tapi “kita”.
Maka
yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah berpasrah. Menerima bila kau menawar,
menyambut bila kau datang. Meski masih saja benci rasanya setiap kali kau pamit
pergi. Ingin mati sejenak saat kau tak ada. Atau bisakah langsung memutus saja
dan tak perlu lagi kembali karena aku sudah terlalu lelah dijerat pilu yang
datang meski baru satu detik berlalu sejak kau bertolak dari balik pintu.

Comments