Tentang kamu dan kita. Adalah apa yang pernah
aku harapkan seolah tak pernah sampai dan ku gapai. Hingga sampai pada hari
dimana kau dan aku bertemu dalam satu waktu dan satu rasa. Senyummu, tawamu,
aku memiliki bahagia yang kau beri ketika kau ucapkan duniamu adalah tentangku.
Apapun peranmu dalam semesta aku yakin aku akan
menyanggupinya. Namun eksistensi hubungan ini, seolah meredup seiring
berjalannya waktu.
Aku kira kita masih dalam zona aman dan nyaman
ketika dunia bergerak tanpa kata. Namun ternyata kita terlalu lengah untuk
menyadari bahwa terlalu banyak fakta yang kita tidak tahu. Seperti jurang
terdalam yang ada pada dunia. Seperti banyaknya kecewa dan air mata yang kita
pikir hanyalah bentuk dari surutnya fase kehidupan
Hari demi hari, hingga tahun berganti, pelan
tapi pasti, ada yang menanti. Perihal kemustahilan, kiranya mulai lekat dengan
langkah bersama yang kita impikan. Satu persatu mulai memperlihatkan wujudnya
dalam bentuk kesenjangan yang selama ini kita pikir pasti akan berlalu. Tapi
kini aku dibuat bertanya-tanya dengan usaha yang tak kunjung dapat pembalasan.
Jalan kita sudah panjang dan di depan sana lebih
panjang lagi. Sementara ombak di depan semakin tinggi saja. Aku pikir tidak apa
selama kita masih bersama. Meski peranmu dalam semesta berkali-kali menjadi
pertanyaan dalam beberapa tahun belakangan.
Lekang waktu atas pertanyaan yang ada. Yang
menggantung, yang tak kunjung mendapt jawaban. Aku kembali bertanya-tanya, kau
pun bertanya-tanya. Aku, kamu, kita tidak lagi mampu untuk saling menopang
karena hampir tak ada lagi kekuatan yang kita punya.
Dunia ini pernah mengajarkanku tentang perjuangan.
Dan kini sama-sama tahu bagaimana rasanya lumpuh untuk mempertahankan
eksistensi kita. Tidak tahu harus berharap kepada siapa sedang dunia saja
tengah murka. Kau dan aku, sama-sama tidak tahu. Kemana cinta harus kita bawa
dan bagaimana kita harus bertahan dalam kekejaman. Kebingungan yang ada.
Ketika sampai pada saat kita merasa begitu terluka namun tak bisa berkata padahal masih banyak cinta yang kita punya, tak bisa menumpah tangis dan berbagi peluk untuk saling memberi kekuatan seperti biasa yang kerap kita lakukan saat dunia begitu pelik, tak bisa lagi menghalau ombak tertinggi yang dunia beri. Kita sampai. Sampai pada saat dimana “selesai” menjadi fase terbaik dari hubungan yang sudah terlalu rapuh untuk kita genggam.

Comments