Satu bahasan yang tak akan pernah ada
habis-habisnya. Bahkan jika dipikir-pikir, masalahnya sama saja. Tentang
kerelaan dan keikhlasan. Kenapa?
Tidak akan ada kata cukup seberapa matang
pun aku atau siapa pun yang memiliki resah dalam satu bahasan yang sama.
Tentang rumah dan segala yang ada di dalamnya. Tentang waktu.
Ada beberapa pemikiran yang tak sampai
jika disinggung tentang hal yang sama. Hingga resah yang ada tetap tak bisa
diterima semuanya. Lagi pula resah ini belum tentu milik semua orang. Ini hanya
tentang aku. Dan suaraku. Akan resahku.
Getir jika mengingat seberapa seringnya
aku merasa takut diri menghadapi hari dimana aku harus pergi lagi. Setiap kali
selalu begini. Tentu saja tak ada yang tahu betapa ini menjadi sesuatu yang tak
pernah mudah untuk dilewati. Cemas. Gelisah. Lagi, resah.
Jika ada satu pintasan yang tercipta atau
yang bisa ku buat, mungkin sejak dulu aku tak perlu sesusah ini untuk
memperjuangkan sebuah keikhlasan. Sedang pintalan benang yang ada saja sudah
cukup rumit untuk ku selesaikan. Bersinergi dengan satu persatu keluh kesah
dalam kesenjangan yang tak henti-henti. Tapi hidup butuh diperjuangkan. Hidup
butuh berjalan pada tempat yang jauh. Dan pada akhirnya pilihan yang paling ku
benci tetap tak bisa ku hindari.
Jalan-jalan yang ku lewati setiap kali
kembali, seberapa sering aku melewatinya, menatapnya, atau sampai pada
mengenali setiap jarak dari satu tanjakan hingga belokan tajam yang curam,
tetap, tak sebersahabat itu aku untuk bisa menikmatinya. Akan selalu ada tangis
sedu dan sebuah keikhlasan yang sedang mati-matian ku perjuangkan di sepanjang
jalan. Rela yang bersamanya tak pernah bisa membuatku cukup kuat untuk berbesar
hati. Selalu butuh waktu yang panjang.
Senja yang biasanya menjadi bagian waktu
favoritku; yang kerap kali menemani perjalanan ini, menjadi sesuatu yang tak
pernah bisa ku tatap dengan takjub. Karena yang ada dalam pandanganku hanyalah
pilu. Tak cukup kuat aku untuk tidak risau dan menganggap kehidupan ini cukup
adil pada setiap harap dan inginku. Aku memang tak pernah senang untuk
merelakan. Dan keikhlasan, sekali lagi, memang sulit untuk ku lewati dengan
baik-baik saja.

Comments