Skip to main content

Rela dan Iklhlas


Satu bahasan yang tak akan pernah ada habis-habisnya. Bahkan jika dipikir-pikir, masalahnya sama saja. Tentang kerelaan dan keikhlasan. Kenapa?
Tidak akan ada kata cukup seberapa matang pun aku atau siapa pun yang memiliki resah dalam satu bahasan yang sama. Tentang rumah dan segala yang ada di dalamnya. Tentang waktu.
Ada beberapa pemikiran yang tak sampai jika disinggung tentang hal yang sama. Hingga resah yang ada tetap tak bisa diterima semuanya. Lagi pula resah ini belum tentu milik semua orang. Ini hanya tentang aku. Dan suaraku. Akan resahku. 
Getir jika mengingat seberapa seringnya aku merasa takut diri menghadapi hari dimana aku harus pergi lagi. Setiap kali selalu begini. Tentu saja tak ada yang tahu betapa ini menjadi sesuatu yang tak pernah mudah untuk dilewati. Cemas. Gelisah. Lagi, resah. 
Jika ada satu pintasan yang tercipta atau yang bisa ku buat, mungkin sejak dulu aku tak perlu sesusah ini untuk memperjuangkan sebuah keikhlasan. Sedang pintalan benang yang ada saja sudah cukup rumit untuk ku selesaikan. Bersinergi dengan satu persatu keluh kesah dalam kesenjangan yang tak henti-henti. Tapi hidup butuh diperjuangkan. Hidup butuh berjalan pada tempat yang jauh. Dan pada akhirnya pilihan yang paling ku benci tetap tak bisa ku hindari.
Jalan-jalan yang ku lewati setiap kali kembali, seberapa sering aku melewatinya, menatapnya, atau sampai pada mengenali setiap jarak dari satu tanjakan hingga belokan tajam yang curam, tetap, tak sebersahabat itu aku untuk bisa menikmatinya. Akan selalu ada tangis sedu dan sebuah keikhlasan yang sedang mati-matian ku perjuangkan di sepanjang jalan. Rela yang bersamanya tak pernah bisa membuatku cukup kuat untuk berbesar hati. Selalu butuh waktu yang panjang.
Senja yang biasanya menjadi bagian waktu favoritku; yang kerap kali menemani perjalanan ini, menjadi sesuatu yang tak pernah bisa ku tatap dengan takjub. Karena yang ada dalam pandanganku hanyalah pilu. Tak cukup kuat aku untuk tidak risau dan menganggap kehidupan ini cukup adil pada setiap harap dan inginku. Aku memang tak pernah senang untuk merelakan. Dan keikhlasan, sekali lagi, memang sulit untuk ku lewati dengan baik-baik saja.

Comments

Popular posts from this blog

Kita dan Restu Semesta

Maaf, jika suatu saat cerita kita hanya tertinggal sebagai sebuah kenangan. Ini semua bukan rencanaku, sungguh. Yang aku tahu hanyalah apa yang tengah kita jalani saat ini adalah apa yang dipertentangkan oleh semesta. Kita sejalan, mereka tidak. Dan bagaimana mungkin kita bisa hidup jika semesta tidak memberikan tempat? Oh, betapa aku mengerti ini semua begitu menyiksa. Aku tak bisa untuk tidak meluapkan tangis setiap kali hubungan kita, tentangmu, diperdebatkan. Aku yang berulang kali harus berpura-pura jika tanpamu aku baik-baik saja di hadapan semesta, begitu terluka. Mengetahui bagaimana kita di masa yang akan datang, membuatku harus memberikan banyak  pain   killer  untuk hatiku. Dan untuk memberitahu padamu bahwa aku telah mengetahui ini semua, aku ingin mati saja. Bagaimana mungkin aku mampu untuk mengatakan padamu agar bisa mengikhlaskanku?  Tidak sekali-dua kali aku melihatmu berjuang dalam ketidakberdayaanmu untuk menghancurkan egoku kala aku seda...

Pa.. Ma..

Ma, seandainya bisa berkata, aku tidak ingin menikah saja. Kehilangan dia membuatku kehilangan asa atas pencarian segalanya. Aku kehilangan tujuan karena pernah membangun harapan dan cita saat bersamanya yang membuatku menguras habis segala kepercayaanku, sehingga ketika ia pergi aku tidak punya alasan lagi untuk apa dan siapa aku harus mengambil langkah dalam hubungan yang baru. Ma, maaf jika kehilangannya membuatku begitu tak berdaya. Tapi aku benar-benar tidak tau lagi bagaimana cara menata kembali hatiku yang masih penuh dengan harapan, ingatan, dan kenangan tentangnya. Membuang itu semua pun sama seperti membunuh diri. Karena hanya harapan dan kenangan itulah yang bisa membuatku setidaknya bisa berdiri hingga detik ini. Menyadari bahwa aku pernah begitu berharga untuk hidupnya. Menyadari bahwa aku pernah dicintai dengan begitu hebatnya. Meski harus usai, jiwaku masih begitu melekat pada setiap kenangan itu. Dan jika harus terus melanjutkan hidup, beginilah adanya hidup ingin ku ...

Berubah Haluan

Dalam beberapa kejadian lampau, banyak, kita sedang larut-larutnya dalam persembahan tawa. Semua itu adalah hal paling menyenangkan untuk kita. Membuat cerita yang membuat iri setiap pasang mata. Kisah kita, begitu istimewa.  Hingga kemudian.. lenyap secara perlahan. Lalu bagaimana dengan saat ini? Aku tak mampu mengambil peran itu lagi. Pun jika aku bisa, kau tak lagi bersedia untuk bergabung bersama. Aku terus berjalan, kau berubah haluan. Kembali ku ajak, langkahmu bertolak. Besok-besok, kita tak lagi berada pada cerita yang serupa. Secepat itu, kita menjadi dua orang yang tak lagi saling sapa. Bukan panggung sandiwara yang pernah kita naiki. Adalah cerita sesungguhnya yang kita miliki. Tapi tujuanmu telah berubah, persinggahan tlah diganti. Sempat pelik dunia kita sampai kau memutuskan untuk pergi. Kau tlah membuat cerita barumu, aku masih dengan cerita dulu. Dunia kita tak lagi saling bersitegang, mungkin. Namun jelas bagiku, tak lagi dalam usaha tuk kembali. ...