Menanggung
rasa dalam diam, tersenyum setelah kau bertolak badan, memupuk rasa yang kian
dalam, adalah pilihan yang selalu aku buat beberapa tahun belakangan. Terdengar
singkat, namun sempat tertatih aku hingga menanti kau dapat terpikat.
Dalam
beberapa tahun terakhir pula aku menjadi begitu pandai berpura-pura. Menjadi
pecundang yang senang bergelut dengan tanya. Tanya yang tak kunjung ada
habisnya. Tanya yang yang tak kunjung ada jawabnya. Seperti kamu yang tak
kunjung datang meski ‘pernah bersama’ adalah sesuatu yang tak sekalipun ada
untuk kita sepakati berdua.
Aku,
adalah seseorang yang padanya kau beri harapan. Sesegera bahagia datang kau
hempaskan aku dalam kehilangan. Hingga kau kembali dan aku masih berdiri di
sini. Bertanya-tanya akan hal yang sama, nyatanya tak jua aku mampu untuk
bicara.
Aku,
si penikmat sandiwaraku sendiri. Yang hanya dapat meremas jemari di balik baju
setiap kali mata kita beradu. Atau beralih menyapu pandang ke sisi ruang saat
tawamu yang sesungguhnya begitu indah untuk dilewatkan. Tak acuh.
Aku
hanya takut kau dapat menangkap getaran yang ku rasakan, keringat yang
bercucuran, dan debaran di dada yang semakin kencang. Hanya takut kau tau bahwa
aku menyimpan rasa yang begitu dalam. Hanya takut kau akan tertawa atas aku
yang memalukan. Atau sampai pada kau tak lagi mau melihatku atas rasaku padamu,
maka ini bukan lagi tentang “hanya”. Hancurlah aku karena nestapa.
Kalau saja aku terus turut pada suara yang ada di kepala, atau masih menjadi pengecut yang sama dengan hari-hari sebelumnya, abai terhadap berani yang sesungguhnya masih bisa ku miliki, “aku mencintai kamu”, mungkin adalah apa yang tak akan pernah aku dengar hingga hari ini.

Comments