Berapapun umurnya, matangnya, dewasanya; tapi
percayalah; meninggalkan rumah tidak pernah menjadi hal mudah. – Falla Adinda
Saya benar-benar merasakan hal itu. Kenapa? Saya mahasiswa
baru tahun 2013 dan harus kuliah di luar kota. Jauh dari orang tua dan saudara-saudara
saya. Tentu dapat ditebak, siapa lagi yang dapat menjadi alasan sulit pergi
selain keluarga? Mereka benar-benar membuat langkah kaki saya berat untuk
bergerak.
Apa yang tidak saya temukan saat sendiri? Banyak. Hal
diantaranya yang sangat terasa adalah makan malam bersama keluarga. Kalian pun
pasti akan mengakui hal itu. Saya sudah fasih betul dengan setiap waktu yang
berjalan setiap makan malam bersama. Dengan meja dan keenam kursinya yang punya
tempat kepunyaan masing-masing setiap kami, bagaimana tata letak makanannya
yang Mama saji, candaan maupun guyonan yang tercipta dan suasana hangat saat
bersama.
Ayah. Ayah. Ayah. Orang yang sungguh dan benar-benar
berperan penting dalam proses kesuksesan saya. Berbekal nasehat dan petuah yang
kerap kali ia sampaikan, kadang berkelakar, membuat tekad saya lebih kuat untuk
mewujudkan semua harapan mereka bersama cita-cita saya. Ayah, orang terbesar
saya. Pemilik cinta yang terkadang bersembunyi di balik cinta Mama.
Pergi ke kota lain, mengejar mimpi, mewujudkan harapan, yang
sebelumnya hanya impian yang ditimang-timang. Euforia tersebut mungkin belum
terasa betul. Karena saya masih menjalani semester 1. Tetapi, apapun itu. Saya
hanya ingin rumah, pulang, keluarga. Wajah kedua orangtua saya selalu tergambar
jelas dalam ingatan di setiap waktu. Ayah, Mama, doakan saya.
Meninggalkan rumah. Bukan selamanya. Hanya sementara.
Meskipun begitu, saya tetap saja benci menyisakan tangis ini dipenghujung
kepergian. Maka, jika tolak ukur semua ini adalah jarak, waktu menjadi sesuatu
yang sangat berharga.
Hidup jauh dari orangtua memang meninggalkan banyak perkara,
diantaranya rindu. Saat terbangun tengah malam dengan sendirinya, lalu melihat
ke sekeliling saat sebelumnya mata hanya bertatap dengan langit-langit kamar,
atmosfir akan rindu yang hebat semudah itu tumpah. Ah, andaikan alasannya
berbeda. Saya terbangun dan sulit kembali untuk tidur lalu pergi ke ruang
tengah untuk menonton acara televisi tengah malam, atau sekedar hanya ingin ke
kamar kecil dan ternyata bertemu Mama atau Ayah yang belum tidur. Andaikan.
Bangun pagi atau dibangunkan, bersiap-siap untuk pergi ke
sekolah, pergi ke ruang makan untuk sarapan bersama dan mengobrol ringan
bersama ke dua orang tua, menggenggam tangan mereka saat jam masuk sekolah mulai
mendekat. Dan, sapa pamit “berangkat”. Lalu, saya tersentak. Ingatan yang
mecuat. Tangan yang selalu digenggam setiap pagi kini tak lagi dekat. Ya, itu
hanyalah lamunan tentang masa-masa jauh di mana waktu 5 bulan ini belum ada.
Setiap waktu makan, hanya dapat memandang kosong ke arah
kompor. Apa yang dapat saya lakukan terhadap benda itu? Bagaimana proporsi akan
garam dan bumbu-bumbu lainnya itu, Mama? Sungguh, saya buta akan hal tersebut.
Tangis perlahan jatuh. “Mama, andaikan saya di rumah”.
Fase transisi. Sejauh 4 bulan ini saya masih sulit untuk
bersaing dengan tangisan tengah malam dan rindu sepanjang jalan. Masih kalah
akan usaha sendiri untuk mendapatkan kata ‘dewasa’. Entah, hanya perasaan saya
ataupun pribadi saya yang belum bisa sepenuhnya disebut demikian atau manja
yang berlebihan, saya selalu mengharapkan pulang disetiap jadwal kuliah mulai
terpampang. Memilah minggu yang memilki hari libur. Mengatur rencana dan terkadang
harus menerima pembatalannya saat dosen memiliki wewenang yang lebih besar dari
sekedar mahasiswi yang memiliki harapan akan tanggal libur yang segera disebar.
Membayangkan kedepan, membuat saya ngeri. Logika bicara. Ada baiknya, jalani
saja. Memang seharusnya begitu. Semoga saya bisa menikmati waktu-waktu
berikutnya. Memang, harus meredakan keinginan demi menjaga nilai
profesionalitas.
Memang, hidup ini terus berjalan. Dan, semuanya tak luput dari sedikit banyaknya perubahan yang menyertai.
Comments