Sejak beberapa tahun lalu di setiap pembuka tahun baru, saya akan menuliskan setiap pengalaman saya di sepanjang tahun sebelumnya. Tidak ada alasan khusus. Hanya karena yang pertama saya hobi menulis, kedua saya hobi membaca. Yah, untuk di beberapa waktu kemudian saya akan membaca kembali tulisan saya tersebut. Kenapa dipublish? Hanya ingin sharing (syukur-syukur bisa dinikmati). Just let be on its way. If you mind, you may click this one.
Back to topic.
2018 adalah tahun yang wow. Tahun pasang-surut untuk hidupku, perjalanan akademik hingga karirku. Namanya juga hidup. Masa stagnan melulu? He he. Agak berbeda memang, karena tahun ini saya bisa merasakan fase dimana begitu useless-nya saya, begitu fail-nya saya, begitu unlucky-nya saya. But who can deny? Bukan hanya saya, manusia memang begitu adanya, bukan? Beberapa fase hidup memang dirancang untuk menerima luka. Mungkin memang saya sedang berada di fase itu, Namun itu semua bukan alasan untuk terus mengeluh dan meratapi diri.
Akademik tetap diperjuangkan, karir lanjut jalan.
Tulisan tentang akhir tahun lalu, ditutup dengan tulisan tentang kepergian saya ke kota Pangkalanbun untuk bertugas sebagai Dokter Muda di Rumah Sakit Pemerintah di sana. Tepat di tanggal 1 Januari 2018 saya dan teman-teman sejawat tiba di sana dan memulai untuk menjalani masa wajib kami. Seperti sebelumnya, saya kembali jatuh cinta pada kota ini. Kota yang baru kali kedua saya datangi. Kota yang mungkin tidak akan bisa membuat saya datang ke sini kalau tidak untuk bertugas. Kota yang ternyata begitu menyenangkan. Kembali menghabiskan hari di kota Pangkalanbun, tentu saya tidak ingin menyia-nyiakannya. Menjelajah kota, mengunjungi wisata, dan menikmati kulinernya, adalah apa yang terjadwalkan di luar jam tugas di rumah sakit. Tentu, di rumah sakit juga tak luput dari hal baru. Satu hal baru yang tidak pernah kami jumpai, karena di tempat kami memang terbilang jarang. Kasus kurang gizi marasmus-kwashiorkor dengan status HIV dan TB positif. Sebagai Dokter Muda yang statusnya belum terhitung genap setahun, kami benar-benar banyak belajar hal baru dari kasus ini. Ikut berjuang merawat dan mengobatinya, kurang tidur, melakukan observasi ketat seketat-ketatnya, we're thankful even tired. Seorang anak yang sering luntang-lantung di jalan, datang dalam keadaan lemah tak berdaya dibawa oleh dinsos, melihat tubuh ringkihnya, menyaksikan tangis lirihnya setiap waktu karena harus memakan makanan yang sangat tidak enak demi masa rehabilitasinya, berada di ruang isolasi tanpa satupun hiburan, hingga hari demi hari akhirnya bisa kembali berjalan, melihat jalanan luar meski hanya dari pagar pembatas, tersenyum dengan canda yang bahkan tidak cukup lucu, you'll know how lucky it feels to be with a kid like this. Karena beruntung tidak melulu soal kamu mendapatkan durian runtuh atau menang lotre. Beruntung juga tentang saat kamu bisa melihat senyum yang sempat hilang kembali datang. Tapi siapa yang tahu hidupmu bisa bertahan berapa lama? Rasa sakit bisa bertemu batas toleransi. That kid, dengan komplikasi yang sudah sangat berat, harus pergi. I cried.
Dalam cerita lain yang terjadi di Januari, saya juga harus kembali berhadapan dengan yang namanya melepas. Melepas seseorang yang begitu saya yakini sebagai seseorang yang sejati, akhirnya harus pergi atas keputusannya sendiri. Menyudahi sesuatu yang sesungguhnya tidak benar-benar tuntas. Kepulangan saya dari Pangkalanbun di bulan Januari, diiringi oleh patah hati. Saya tidak bisa membawanya kembali.
Bulan Mei saya menerima tawaran menjadi salah satu talent untuk event of the year, yaitu Wedding Vaganza. Ini bukan kali pertama saya join. Hanya saja tahun lalu dan tahun ini tidak bersama company yang sama. Hanya itu. Sisanya, sama-sama menyenangkan, menambah pengalaman, menambah teman. Membawa nama Lenny Lai Atelier; salah satu desainer ternama se-Kalimantan Tengah hingga luar, membuat saya berbangga hati. Membawa gaunnya di stage, ditonton banyak pasang mata, dan diabadikan oleh banyak kamera, feel so thankful.
Akademik tetap diperjuangkan, karir lanjut jalan.
Tulisan tentang akhir tahun lalu, ditutup dengan tulisan tentang kepergian saya ke kota Pangkalanbun untuk bertugas sebagai Dokter Muda di Rumah Sakit Pemerintah di sana. Tepat di tanggal 1 Januari 2018 saya dan teman-teman sejawat tiba di sana dan memulai untuk menjalani masa wajib kami. Seperti sebelumnya, saya kembali jatuh cinta pada kota ini. Kota yang baru kali kedua saya datangi. Kota yang mungkin tidak akan bisa membuat saya datang ke sini kalau tidak untuk bertugas. Kota yang ternyata begitu menyenangkan. Kembali menghabiskan hari di kota Pangkalanbun, tentu saya tidak ingin menyia-nyiakannya. Menjelajah kota, mengunjungi wisata, dan menikmati kulinernya, adalah apa yang terjadwalkan di luar jam tugas di rumah sakit. Tentu, di rumah sakit juga tak luput dari hal baru. Satu hal baru yang tidak pernah kami jumpai, karena di tempat kami memang terbilang jarang. Kasus kurang gizi marasmus-kwashiorkor dengan status HIV dan TB positif. Sebagai Dokter Muda yang statusnya belum terhitung genap setahun, kami benar-benar banyak belajar hal baru dari kasus ini. Ikut berjuang merawat dan mengobatinya, kurang tidur, melakukan observasi ketat seketat-ketatnya, we're thankful even tired. Seorang anak yang sering luntang-lantung di jalan, datang dalam keadaan lemah tak berdaya dibawa oleh dinsos, melihat tubuh ringkihnya, menyaksikan tangis lirihnya setiap waktu karena harus memakan makanan yang sangat tidak enak demi masa rehabilitasinya, berada di ruang isolasi tanpa satupun hiburan, hingga hari demi hari akhirnya bisa kembali berjalan, melihat jalanan luar meski hanya dari pagar pembatas, tersenyum dengan canda yang bahkan tidak cukup lucu, you'll know how lucky it feels to be with a kid like this. Karena beruntung tidak melulu soal kamu mendapatkan durian runtuh atau menang lotre. Beruntung juga tentang saat kamu bisa melihat senyum yang sempat hilang kembali datang. Tapi siapa yang tahu hidupmu bisa bertahan berapa lama? Rasa sakit bisa bertemu batas toleransi. That kid, dengan komplikasi yang sudah sangat berat, harus pergi. I cried.
Dalam cerita lain yang terjadi di Januari, saya juga harus kembali berhadapan dengan yang namanya melepas. Melepas seseorang yang begitu saya yakini sebagai seseorang yang sejati, akhirnya harus pergi atas keputusannya sendiri. Menyudahi sesuatu yang sesungguhnya tidak benar-benar tuntas. Kepulangan saya dari Pangkalanbun di bulan Januari, diiringi oleh patah hati. Saya tidak bisa membawanya kembali.
Bulan Mei saya menerima tawaran menjadi salah satu talent untuk event of the year, yaitu Wedding Vaganza. Ini bukan kali pertama saya join. Hanya saja tahun lalu dan tahun ini tidak bersama company yang sama. Hanya itu. Sisanya, sama-sama menyenangkan, menambah pengalaman, menambah teman. Membawa nama Lenny Lai Atelier; salah satu desainer ternama se-Kalimantan Tengah hingga luar, membuat saya berbangga hati. Membawa gaunnya di stage, ditonton banyak pasang mata, dan diabadikan oleh banyak kamera, feel so thankful.

Comments