Skip to main content

Aku Dalam Diriku


Dia diam. Sesekali menatap sekeliling. Pikirannya tak tenang. Degup jantungnya pun tak mampu ia kendalikan. Keringat mulai bercucuran dari pelipisnya. Bisa dipastikan telapak tangannya sudah basah. Belum lagi dengan keringat yang sudah membanjiri tubuhnya dibalik baju.
Satu, dua, tiga, empat.. Kecemasan membelenggunya dalam sekejap. Ia meremas jari-jarinya. Mencoba untuk menahan kegelisahan yang mengotak-atik dirinya; yang sedang berada dalam ketenangan. Ia sempat berseru kesal, kenapa bisa-bisanya membenturi hari dan hatinya yang sudah setenang ini? Katanya, nanti akan sulit untuk sembuh lagi.
Tadinya ia sudah menyusun beberapa hal untuk waktu ke depan, namun yang ia anggap petaka tiba-tiba saja menghampirinya. Katanya sih petaka. Tetapi sesungguhnya itu adalah kabar bahagia. Sayang sekali, ia masih menolak pernyataan tersebut. Ia tidak senang. Ia cemas setiap kali mendengarnya. Dan kini, tentu saja ia sudah mulai stress tiada tara.
Katanya, ia ingin menangis, karena sudah tidak sanggup menahan cemas dan pilu di saat yang sama. Karena betul saja, ini memang sangat mendadak. Setahuku, ia bukanlah orang yang bersahabat dengan keadaan yang tiba-tiba. Jiwanya masih rentan. Ia sering kali kalap dalam guncangan. Ketahuilah, ia bukan orang hebat yang mampu mematahkan kegelisahan.
Ia bisikkan padaku, “apa bisa sembunyi sebentar? Untuk menumpahkan tangis”. Cemasnya sudah tak terbendung. Ku bisikkan balik padanya, “bersabarlah sedikit lagi. Tahan dulu. Kita masih belum pulang. Nanti tunggu di rumah, kau boleh kunci kamar dan menangis sepuasnya”. Ia akhirnya mengangguk.
Ia benar-benar tidak siap. Atau mungkin, sampai kapan pun tidak siap. Sudah ku bilang, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Ia hanya menggeleng, memperlihatkan wajah sendunya. Ah, aku tidak tega. Kalau dipikir-pikir, memang seharusnya sejak awal ia jangan mengambil langkah ini. Akibatnya.. ia jatuh-bangun.. jatuh-bangun. Ah, seandainya tahu sejak awal. Hingga sampai saat ini, sudah tak terhitung banyaknya luka yang ia terima. Hebatnya, ia terus berlapang dada di depan mereka. Sekembalinya, kau tak tau saja, ia meraung seperti orang gila.
Ia adalah orang yang penuh rasa khawatir, gelisah, cemas, dalam setiap detik keputusan hidupnya. Tak ada yang tahu akan hal itu, karena ia merupakan pengemas rahasia yang baik. Itulah kenapa ia tak banyak terlihat bersedih akan dirinya di luar sana. Ah, aku sudah hapal dengan itu semua.
Ia mulai terlihat memejamkan mata. Dahinya berkerut, alisnya tertaut. Seperti orang yang sedang berpikir keras, padahal sedang dalam pertahan diri. Mulutnya berkomat-kamit. Seakan membaca mantra. Tapi tentu saja bukan mantra. Dia sedang berdoa. Sesekali ia sapukan kedua telapak tangannya ke baju. Pasti karena sudah basah sekali oleh keringat.
Ku berikan ia draft kosong untuk mengalihkan rasa cemasnya. Biasanya ia tak bisa melihatnya dirinya berdiam, lantas langsung membuka draft kosong untuk hobi menulisnya. Namun kali ini, halaman kosong itu hanya ia tatap, tanpa geming, di detik berikut ia tutup. Hh, padahal menulis adalah hiburan untuknya setelah ia sembuh dari stress yang lalu.
“Aku cemas sekali, aku tak bisa berimajinasi akan hal yang menyenangkan. Isi pikiranku sekarang hanya hal buruk.”
Tukasnya.
Ia menggigit ujung bibirnya dengan keras. Untungnya tidak terluka. Berulang kali dadanya kembang kempis. Wajahnya meringis. Pipinya memerah. Bibirnya bergetar. Jari-jemarinya tak bisa diam. Ia sedang berjuang kuat untuk menahan emosinya. Hatinya sudah bergemuruh hebat.
Di detik berikut, ia mulai bersenandung kecil. Menyanyikan lagu Golden Slumbers dengan mata yang dipejamkan. Biasanya itu adalah salah satu cara untuk mensugesti dirinya sendiri. Paling tidak, untuk membuat detak jantung lebih tenang dan mendamaikan diri terhadap situasi. Meski pada kenyataannya, tak benar-benar bisa berdamai sesuai harap.
Senandungnya selesai. Dia pun menguap.
“Aku ingin tidur saja. Bangunkan aku jika menangis sudah memungkinkan untuk dilakukan.”

- aku, dalam diriku sendiri

Comments

Popular posts from this blog

Kita dan Restu Semesta

Maaf, jika suatu saat cerita kita hanya tertinggal sebagai sebuah kenangan. Ini semua bukan rencanaku, sungguh. Yang aku tahu hanyalah apa yang tengah kita jalani saat ini adalah apa yang dipertentangkan oleh semesta. Kita sejalan, mereka tidak. Dan bagaimana mungkin kita bisa hidup jika semesta tidak memberikan tempat? Oh, betapa aku mengerti ini semua begitu menyiksa. Aku tak bisa untuk tidak meluapkan tangis setiap kali hubungan kita, tentangmu, diperdebatkan. Aku yang berulang kali harus berpura-pura jika tanpamu aku baik-baik saja di hadapan semesta, begitu terluka. Mengetahui bagaimana kita di masa yang akan datang, membuatku harus memberikan banyak  pain   killer  untuk hatiku. Dan untuk memberitahu padamu bahwa aku telah mengetahui ini semua, aku ingin mati saja. Bagaimana mungkin aku mampu untuk mengatakan padamu agar bisa mengikhlaskanku?  Tidak sekali-dua kali aku melihatmu berjuang dalam ketidakberdayaanmu untuk menghancurkan egoku kala aku seda...

Pa.. Ma..

Ma, seandainya bisa berkata, aku tidak ingin menikah saja. Kehilangan dia membuatku kehilangan asa atas pencarian segalanya. Aku kehilangan tujuan karena pernah membangun harapan dan cita saat bersamanya yang membuatku menguras habis segala kepercayaanku, sehingga ketika ia pergi aku tidak punya alasan lagi untuk apa dan siapa aku harus mengambil langkah dalam hubungan yang baru. Ma, maaf jika kehilangannya membuatku begitu tak berdaya. Tapi aku benar-benar tidak tau lagi bagaimana cara menata kembali hatiku yang masih penuh dengan harapan, ingatan, dan kenangan tentangnya. Membuang itu semua pun sama seperti membunuh diri. Karena hanya harapan dan kenangan itulah yang bisa membuatku setidaknya bisa berdiri hingga detik ini. Menyadari bahwa aku pernah begitu berharga untuk hidupnya. Menyadari bahwa aku pernah dicintai dengan begitu hebatnya. Meski harus usai, jiwaku masih begitu melekat pada setiap kenangan itu. Dan jika harus terus melanjutkan hidup, beginilah adanya hidup ingin ku ...

Berubah Haluan

Dalam beberapa kejadian lampau, banyak, kita sedang larut-larutnya dalam persembahan tawa. Semua itu adalah hal paling menyenangkan untuk kita. Membuat cerita yang membuat iri setiap pasang mata. Kisah kita, begitu istimewa.  Hingga kemudian.. lenyap secara perlahan. Lalu bagaimana dengan saat ini? Aku tak mampu mengambil peran itu lagi. Pun jika aku bisa, kau tak lagi bersedia untuk bergabung bersama. Aku terus berjalan, kau berubah haluan. Kembali ku ajak, langkahmu bertolak. Besok-besok, kita tak lagi berada pada cerita yang serupa. Secepat itu, kita menjadi dua orang yang tak lagi saling sapa. Bukan panggung sandiwara yang pernah kita naiki. Adalah cerita sesungguhnya yang kita miliki. Tapi tujuanmu telah berubah, persinggahan tlah diganti. Sempat pelik dunia kita sampai kau memutuskan untuk pergi. Kau tlah membuat cerita barumu, aku masih dengan cerita dulu. Dunia kita tak lagi saling bersitegang, mungkin. Namun jelas bagiku, tak lagi dalam usaha tuk kembali. ...