Dia
diam. Sesekali menatap sekeliling. Pikirannya tak tenang. Degup jantungnya pun
tak mampu ia kendalikan. Keringat mulai bercucuran dari pelipisnya. Bisa
dipastikan telapak tangannya sudah basah. Belum lagi dengan keringat yang sudah
membanjiri tubuhnya dibalik baju.
Satu, dua, tiga, empat.. Kecemasan membelenggunya dalam
sekejap. Ia meremas jari-jarinya. Mencoba untuk menahan kegelisahan yang
mengotak-atik dirinya; yang sedang berada dalam ketenangan. Ia sempat berseru
kesal, kenapa bisa-bisanya membenturi hari dan hatinya yang sudah setenang ini?
Katanya, nanti akan sulit untuk sembuh lagi.
Tadinya ia sudah menyusun beberapa hal untuk waktu ke
depan, namun yang ia anggap petaka tiba-tiba saja menghampirinya. Katanya sih
petaka. Tetapi sesungguhnya itu adalah kabar bahagia. Sayang sekali, ia masih
menolak pernyataan tersebut. Ia tidak senang. Ia cemas setiap kali
mendengarnya. Dan kini, tentu saja ia sudah mulai stress tiada tara.
Katanya, ia ingin menangis, karena sudah tidak sanggup
menahan cemas dan pilu di saat yang sama. Karena betul saja, ini memang sangat
mendadak. Setahuku, ia bukanlah orang yang bersahabat dengan keadaan yang
tiba-tiba. Jiwanya masih rentan. Ia sering kali kalap dalam guncangan.
Ketahuilah, ia bukan orang hebat yang mampu mematahkan kegelisahan.
Ia bisikkan padaku, “apa bisa sembunyi sebentar? Untuk
menumpahkan tangis”. Cemasnya sudah tak terbendung. Ku bisikkan balik padanya,
“bersabarlah sedikit lagi. Tahan dulu. Kita masih belum pulang. Nanti tunggu di
rumah, kau boleh kunci kamar dan menangis sepuasnya”. Ia akhirnya mengangguk.
Ia benar-benar tidak siap. Atau mungkin, sampai kapan pun
tidak siap. Sudah ku bilang, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Ia hanya
menggeleng, memperlihatkan wajah sendunya. Ah, aku tidak tega. Kalau
dipikir-pikir, memang seharusnya sejak awal ia jangan mengambil langkah ini.
Akibatnya.. ia jatuh-bangun.. jatuh-bangun. Ah, seandainya tahu sejak awal.
Hingga sampai saat ini, sudah tak terhitung banyaknya luka yang ia terima.
Hebatnya, ia terus berlapang dada di depan mereka. Sekembalinya, kau tak tau
saja, ia meraung seperti orang gila.
Ia adalah orang yang penuh rasa khawatir, gelisah, cemas,
dalam setiap detik keputusan hidupnya. Tak ada yang tahu akan hal itu, karena
ia merupakan pengemas rahasia yang baik. Itulah kenapa ia tak banyak terlihat
bersedih akan dirinya di luar sana. Ah, aku sudah hapal dengan itu semua.
Ia mulai terlihat memejamkan mata. Dahinya berkerut,
alisnya tertaut. Seperti orang yang sedang berpikir keras, padahal sedang dalam
pertahan diri. Mulutnya berkomat-kamit. Seakan membaca mantra. Tapi tentu saja
bukan mantra. Dia sedang berdoa. Sesekali ia sapukan kedua telapak tangannya ke
baju. Pasti karena sudah basah sekali oleh keringat.
Ku berikan ia draft kosong untuk mengalihkan rasa
cemasnya. Biasanya ia tak bisa melihatnya dirinya berdiam, lantas langsung
membuka draft kosong untuk hobi menulisnya. Namun kali ini, halaman kosong itu
hanya ia tatap, tanpa geming, di detik berikut ia tutup. Hh, padahal menulis
adalah hiburan untuknya setelah ia sembuh dari stress yang lalu.
“Aku cemas sekali, aku tak bisa berimajinasi akan hal
yang menyenangkan. Isi pikiranku sekarang hanya hal buruk.”
Tukasnya.
Ia
menggigit ujung bibirnya dengan keras. Untungnya tidak terluka. Berulang kali
dadanya kembang kempis. Wajahnya meringis. Pipinya memerah. Bibirnya bergetar.
Jari-jemarinya tak bisa diam. Ia sedang berjuang kuat untuk menahan emosinya.
Hatinya sudah bergemuruh hebat.
Di
detik berikut, ia mulai bersenandung kecil. Menyanyikan lagu Golden Slumbers
dengan mata yang dipejamkan. Biasanya itu adalah salah satu cara untuk
mensugesti dirinya sendiri. Paling tidak, untuk membuat detak jantung lebih
tenang dan mendamaikan diri terhadap situasi. Meski pada kenyataannya, tak
benar-benar bisa berdamai sesuai harap.
Senandungnya
selesai. Dia pun menguap.
“Aku
ingin tidur saja. Bangunkan aku jika menangis sudah memungkinkan untuk
dilakukan.”
- aku, dalam diriku sendiri

Comments