“Seandainya saja aku bisa memilih untuk meninggalkanmu.”
———
Setiap kali kita jatuh dalam kesenjangan. Pertimbangan
demi pertimbangan mulai ku buat dan ku pikirkan. Aku bukanlah seorang penduga
namun selalu berdecak atas hebatnya kita yang telah melangkah sejauh ini. Dan
untuk setiap perkara yang tercipta, bukan tidak mudah menghalaunya. Kesepakatan
di antara berdualah yang akhirnya menjadi hasil dari setiap perdebatan panjang.
Sepakat untuk tidak menyerah dan saling mawas diri terhadap setiap cela; yang
membuat masing-masing dari kita kadang lupa untuk bersabar dan saling
mengingatkan. Jika benar rasa sayang yang tak pernah berkurang adalah salah
satu kartu pertahanan, maka aku pun mencoba untuk meyakini hal lainnya. Tak
cukup hanya dengan rasa sayang sebuah hubungan bisa bertahan. Maka kartu
lainnya seperti janji kesetiaan, saling menjaga, rasa sabar, dan tentunya
keseriusan, harus ditemukan. Jika sudah ditemukan dari jauh hari, maka
keluarkan. Dan kita adalah 2 orang yang selalu mengeluarkan kartu-kartu itu,
hingga kita bisa sejauh ini. Sayangnya hal itu bukanlah solusi dan pereda untuk
setiap bencana yang melanda. Perjalanan panjang dengan kartu-kartu yang telah
kita keluarkan pun tak juga bisa menjadi jaminan.
———
Tidak hanya sekali dua kali pemikiran tentang ingin
menyudahkan hubungan mengganggu keseharian. Disebabkan beberapa aspek baru yang
masuk dalam pertimbangan, sehingga terasa memberatkan. Menyulitkan. Ada
beberapa aspek yang pada akhirnya tak bisa dibagi. Bukan karena tak percaya
pada pasangan sendiri. Tapi.. aku tak ingin menyakiti. Diam pun menjadi pilihan
yang harus ku ambil, meski penuh luka karena mengkhawatirkanmu.
Tak apa.. tak apa aku luka dalam rasa khawatir. Karena
rasa penyiksaan ketika melihatmu tersakiti adalah bagian yang lebih mengerikan.
———
2 pertanyaan yang muncul dalam suatu perjalanan putusan.
“Bagaimana jika aku tanpamu?” dan “bagaimana jika kamu tanpaku?”. Atau
mungkin.. tak perlu ada pertanyaan tentang “bagaimana aku”. Maka “bagaimana
kamu” adalah tanya terpenting melebihi apapun. Benar, ingin rasanya ku buat
perjalanan setidaknya 2 tahun ke depan secara runtut di pikiranku, untuk
memastikan kamu bahwa setelah kita saling melepas kamu bisa hidup dengan baik.
Sayangnya, itu hanya singgah sebagai harapan dari seorang pemimpi.
Aku pun kembali berada di antara. Ingin bertahan - ingin
melepaskan. Tentu, aku punya alasan di kedua putusan. Dan risiko dari keduanya
sama-sama menakutkan.
———
Aku sering percaya pada kalimat pernyataan bahwa berpisah
adalah hal yang mudah. Dan kamu adalah orang yang menentang pernyataan
tersebut. Jika menurutku kita bisa saja bertemu kebahagiaan lain. Maka bagimu..
berpisah denganku adalah suatu kehancuran.
Aku bergidik ngeri atas setiap ancaman memilukan tentang
bagaimana kamu tanpa aku.
“Maka tetaplah bersamaku, dan aku akan tetap berbahagia.”
Ucapmu kala itu.
Dan aku hanya membatin. Andai saja aku bisa berkata
‘iya’.
———
Aku tak pernah memberikan pernyataan aku tak bahagia
denganmu. Bagaimana aku terus menyepakati agar kita tetap berlanjut, adalah
jawaban jelas dari perasaanku kala bersamamu.
Tapi, yakinkah kamu.. bahwa dunia juga turut berbahagia
akan kita?
———
Tak jarang aku membuat penawaran untuk hubungan kita.
Sampai kita masih bisa tertawa ha ha ha dan begitu berbahagia. Saling memeluk
dan tak melepas adalah keinginan kita setiap kali berjumpa.
Sampai aku akhirnya ditampar keras oleh kenyataan.
Penawaranku sudah hampir melewati batasan. Aku mulai gelagapan dan berusaha
membuat penawaran baru. Demi bertahan denganmu. Dan dalam masa membuat
penawaran ini kembali, ternyata aku harus menjauh sementara darimu.
Sesanggup itukah aku?
Bukan. Bukan tentang kesanggupanku untuk jauh darimu.
Maksudnya..
Sesanggup itukah aku untuk meyakini bahwa kamu mampu
baik-baik saja tanpaku?
———
- seharusnya tak
perlu kau baca saat suasana hatimu sedang sendu-sendunya. Membuat hatimu tambah
galau saja.

Comments