Skip to main content

Sekedar menuangkan

01.50 WIB.
Bangsal Dahlia.

Televisi di ujung ruangan menayangkan film hollywood. Tapi tak ada yang menonton. Kenapa dan untuk apa, benda tersebut sengaja dihidupkan walaupun tak satupun mata menyaksikan. Kecuali aku, yang melirik sesekali hanya karena bertanya-tanya "film apa yang kiranya tengah ditayangkan di pertengahan malam ini?" Kemudian kembali berkutat dengan lamunan.
Aku bukan termasuk orang yang mudah mengantuk di jam seperti ini. Kecuali dalam keadaan bermalas-malasan, kantuk mudah sekali hinggap. Bahkan ketika di IGD, di saat teman-teman coass yang lain mulai sibuk mencari posisi 'ntah telungkup atau selonjoran atau berbaring sembunyi-sembunyi dipojokan, mataku tak juga terasa berat. Dan di bangsal, di jam-jam seperti ini, kadang hanya berkutat dengan lamunan atau usil membuka buku dengan sok-sokan belajar yang mungkin saja di jam berikutnya materi yang sudah dibaca akan menguap begitu saja. Atau membuka video di youtube, stalking instagram orang lain, atau.. tersenyum atas khayalan yang dibuat sendiri.
Sibuk dalam khayalan.. aku kaget dengan ketukan jari pasien di meja yang ada di depanku. Seperti biasa.. "sus, infus habis" :) tidak asing memang, tapi menyakitkan. Tapi sejauh ini kubiarkan saja panggilan itu. Tak bisa berkutik butiran debu ini. Mana mungkin kita jawab dengan "saya bukan "sus". Saya dokter muda, bu. Apa perlu saya sablon besar-besar nama dokter muda saya di baju jaga ini?" Haha. Sombong sekali. Beberapa teman kadang saat melangkah di bangsal kemudian ada panggilan dari belakang "SUS", yang mereka lakukan adalah tetap melenggang tanpa peduli karena jengkel. "Ya kali gue noleh dipanggil sus" banyak diantaranya berujar. Ya, tidak salah juga, sihhh.
Keadaan bangsal malam ini cukup tenang. Pasien-pasien sepertinya bisa tidur cukup pulas. Bahkan kakak-kakak perawat ruangan pun sudah mendengkur sejak beberapa jam yang lalu. Hanya terkadang beberapa keluarga pasien yang menghampiri karena infus macet, infus habis, ada keluhan nyeri, dan hal-hal lainnya yang tidak begitu gawat. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara televisi. Oh ya, satu lagi.. suara dengkuran. Aku bahkan bisa melihat dari balik station salah satu keluarga pasien yang juga tertidur pulas di sofa tengah ruangan dengan posisi telentang. Ah, mereka tampak nyenyak sekali. Kecuali aku, yang sibuk menuangkan pikiran dalam tulisan ini. Yang kemudian di jam berikutnyalah baru memulai untuk coba-coba mencuri langkah untuk ke kamar DM. Memasuki pukul 3-4 itulah jam-jam begoku, hehe. Jam-jam tersebut mataku benar-benar harus istirahat. Atau aku bisa saja menanggalkan isi kepalaku lantas linglung karena tidak tidur.
Malam ini tumben sekali tidak menyeruput kopi. Bukan karena menghindari palpitasi. Karena palpitasi pasti tetap akan kambuh di jam-jam Shubuh menjelang pagi. Hanya saja langkah terlalu gontai berjalan ke Indomaret depan. Atau karena malas tak ada teman, hm. Alasan takut dengan koridor sepi? Hell ya, no. Cerita horror dan ketakutan suasana seram Rumah Sakit dijaman sekolah dan pre-klinik hanya tinggal cerita. Tengah malam atau sepertiga malam bagi kami sama saja dengan jam-jam lainnya. Kami hanya terlalu lelah jika memikirkan hal yang sama sekali tidak menguntungkan. Paling kamu hanya mendapati satu atau dua orang keluarga pasien yang tengah mojok diam-diam untuk menghisap rokok mereka di depan gedung yang terpajang tulisan besar "dilarang merokok".
Tik tok tik tok. Sudah hampir pukul 3. Sudah ku bilang. Aku hanya menuangkan pikiran. Membaca ini sama sekali tidak menambah wawasanmu. Aku mulai sedikit kehilangan kendali. Sepertinya sebentar lagi dia menghampiri. Kantuk ini. Kamu tau bukan apa yang akan aku lakukan setelah ini?

Mengendap diam-diam. Yuk, kabur.

Comments

Popular posts from this blog

Kita dan Restu Semesta

Maaf, jika suatu saat cerita kita hanya tertinggal sebagai sebuah kenangan. Ini semua bukan rencanaku, sungguh. Yang aku tahu hanyalah apa yang tengah kita jalani saat ini adalah apa yang dipertentangkan oleh semesta. Kita sejalan, mereka tidak. Dan bagaimana mungkin kita bisa hidup jika semesta tidak memberikan tempat? Oh, betapa aku mengerti ini semua begitu menyiksa. Aku tak bisa untuk tidak meluapkan tangis setiap kali hubungan kita, tentangmu, diperdebatkan. Aku yang berulang kali harus berpura-pura jika tanpamu aku baik-baik saja di hadapan semesta, begitu terluka. Mengetahui bagaimana kita di masa yang akan datang, membuatku harus memberikan banyak  pain   killer  untuk hatiku. Dan untuk memberitahu padamu bahwa aku telah mengetahui ini semua, aku ingin mati saja. Bagaimana mungkin aku mampu untuk mengatakan padamu agar bisa mengikhlaskanku?  Tidak sekali-dua kali aku melihatmu berjuang dalam ketidakberdayaanmu untuk menghancurkan egoku kala aku seda...

Pa.. Ma..

Ma, seandainya bisa berkata, aku tidak ingin menikah saja. Kehilangan dia membuatku kehilangan asa atas pencarian segalanya. Aku kehilangan tujuan karena pernah membangun harapan dan cita saat bersamanya yang membuatku menguras habis segala kepercayaanku, sehingga ketika ia pergi aku tidak punya alasan lagi untuk apa dan siapa aku harus mengambil langkah dalam hubungan yang baru. Ma, maaf jika kehilangannya membuatku begitu tak berdaya. Tapi aku benar-benar tidak tau lagi bagaimana cara menata kembali hatiku yang masih penuh dengan harapan, ingatan, dan kenangan tentangnya. Membuang itu semua pun sama seperti membunuh diri. Karena hanya harapan dan kenangan itulah yang bisa membuatku setidaknya bisa berdiri hingga detik ini. Menyadari bahwa aku pernah begitu berharga untuk hidupnya. Menyadari bahwa aku pernah dicintai dengan begitu hebatnya. Meski harus usai, jiwaku masih begitu melekat pada setiap kenangan itu. Dan jika harus terus melanjutkan hidup, beginilah adanya hidup ingin ku ...

Berubah Haluan

Dalam beberapa kejadian lampau, banyak, kita sedang larut-larutnya dalam persembahan tawa. Semua itu adalah hal paling menyenangkan untuk kita. Membuat cerita yang membuat iri setiap pasang mata. Kisah kita, begitu istimewa.  Hingga kemudian.. lenyap secara perlahan. Lalu bagaimana dengan saat ini? Aku tak mampu mengambil peran itu lagi. Pun jika aku bisa, kau tak lagi bersedia untuk bergabung bersama. Aku terus berjalan, kau berubah haluan. Kembali ku ajak, langkahmu bertolak. Besok-besok, kita tak lagi berada pada cerita yang serupa. Secepat itu, kita menjadi dua orang yang tak lagi saling sapa. Bukan panggung sandiwara yang pernah kita naiki. Adalah cerita sesungguhnya yang kita miliki. Tapi tujuanmu telah berubah, persinggahan tlah diganti. Sempat pelik dunia kita sampai kau memutuskan untuk pergi. Kau tlah membuat cerita barumu, aku masih dengan cerita dulu. Dunia kita tak lagi saling bersitegang, mungkin. Namun jelas bagiku, tak lagi dalam usaha tuk kembali. ...