Mentari pagi
tak lagi terasa hangat. Keinginan untuk olah raga pagi pun tertepis karena
udara yang sudah tercemar di luar sana. Membuka jendela saja terasa enggan,
takut setiap sudut rumah juga akan dipenuhi asap dari luar sana. Ya, asap parah
sudah dimana-mana. Kebakaran hutan bukannya menyurut malah semakin
menjadi-jadi. Dampaknya? Masyarakat.
Keluhan
terdengar di mana-mana. Masyarakat di beberapa tempat mulai menggelar shalat
Istisqha, meminta hujan. Sekolah-sekolah mulai diliburkan. Dan pada jam-jam
tertentu, penerbangan dari/ke Palangkaraya dan sekitarnya menjadi lebih sering
tertunda. Para politisi mulai sibuk bergumam, tak terkecuali saya, kalian.
Pecinta lingkungan mulai merebak di jalan-jalan. Beberapa organisasi mulai
membuka donasi. Tak sedikit pula mahasiswa ikut turun tangan ke setiap tempat
untuk membagikan himbauan dan masker. Beberapa, hanya duduk diam menunggu.
Borneo yang
katanya sebagai paru-paru dunia, mungkin hanya tersisa sebagai pelajaran kuno di
Sekolah Dasar. Kemarau berkepanjangan setiap tahun tak bisa lepas dari berita
di televisi tentang kebakaran hutan. Tempat yang kaya akan pepohonan pun mulai
lelah melawan udara yang kini tak lagi bisa dibilang sebagai udara. Di luar
sana banyak orang berlomba-lomba untuk memajukan teknologi. Lantas, hutan yang
menjadi harta yang paling berharga untuk bumi kita, kita biarkan saja dilalap
api secara perlahan?
Dengan
keadaan udara yang semakin parah akibat kebakaran hutan di daerah kita, saya
yakin pemerintah sudah bertindak, pemerintah sudah bergerak maksimal untuk
mengatasi hal ini. Lalu, kenapa tak kunjung reda? Kenapa semakin parah?
Jawabannya ada pada kita. Ada pada masyarakat ini sendiri. Pemerintah terus
berjuang untuk membuat masyarakat tetap merasa nyaman. Akan tetapi, di sana
sini kebakaran masih terus berlanjut. Siapa pelakunya? Tentu kita tau
jawabannya. Niat membuka lahan dengan pembakaran hanya berujung merugi untuk
masyarakat ini sendiri. Ada keluarga yang ingin membuka lahan? Di sinilah kita
ambil peran. Ingatkan. Bahwa anak-anak bahkan balita hingga bayi yang tidak
berdosa lebih banyak menanggung akibatnya. Rumah sakit dibanjiri pasien yang
datang silih berganti dengan keluhan yang sama. Tenaga medis juga manusia. Pun
bisa kewalahan dengan banyaknya pasien yang tidak sesuai dengan jumlah pekerja
dan ruangan yang disediakan.
Pagi, 23 September 2015 saya
membuka salah satu berita online yang mengabarkan bahwa bahaya udara di
Palangkaraya semakin meningkat 5 kali lipat. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya menunjukkan
konsenrasi partikulat PM10 berada di atas 1.000 mikrogram per meter kubik
sepanjang hari, yaitu antara 1.095,93 mikorgram per meter kubik hingga 1.991,93
mikorgram per meter kubik. Angka ini menunjukkan lima kali tingkat bahaya dari
ambang batas kualitas udara kategori berbahaya. Jarak pandang pun hanya
berkisar 50-500 meter. Sepanjang hari ini, alat pengukur tidak bisa memberikan
data pada pukul 07.00, 08.00, 09.00, 15.00, dan 16.00. Konsentrasi partikulat
PM 10 0-50 menunjukkan kualitas udara baik, nilai 50-150 kualitas udara sedang,
150-250 kualitas udara tidak sehat, 250-350 kualitas udara sangat tidak sehat,
dan di atas 350 kualitas udara berbahaya.
Pada Selasa lalu, kabut asap di Palangkaraya juga pekat. Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) menunjukkan konsentrasi partikulat PM10 pun berada di
antara angka 731 mikrogram per meter kubik sampai 1.995 mikrogram per meter
kubik. Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi
Kalteng dokter Endang Sri Lestari membenarkan bahwa udara di Kota Palangkaraya
sangat berbahaya dan kota dalam kondisi tidak layak huni. Penderita infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) di Kalimantan Tengah pun terus meningkat. Sejak
Juli hingga September tercatat ada 27.154 penderita. Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Tengah telah menyatakan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada
kondisi ini. Data yang dihimpun dari 14 kabupaten/kota se-Kalimantan Tengah,
pada Juli 2015 tercatat ada 10.204 penderita ISPA, pada Agustus terdapat 9.819
penderita, dan pada dua pekan September terdapat 7.131 penderita.
Di tingkat provinsi, peningkatan tampak dari minggu pertama September
ke minggu kedua September. Pada minggu pertama, tercatat ada 3.228 penderita
ISPA dan pada minggu kedua ada 3.903 penderita ISPA.(1)
Berikut juga saya dapatkan di sebuah situs tentang indeks dari kualitas udara yang ada di Indonesia dan beberapa bagian negara.
Prihatin? Sangat.
Jalanan Palangkaraya dan
sekitarnya kini hanya menyisakan jarak pandang beberapa meter. Berita terakhir
yang saya baca ada 1000 titik api di Kalimantan Tengah. Ya, udara buruk
memenuhi Kalimantan Tengah, mulai memasuki daerah Kalimantan Selatan. Banyak
kota di Sumatera juga mengalami hal yang tak jauh berbeda. Kini, tak hanya
tugas pemerintah saja. Sebagai anak muda penerus bangsa, kita juga dapat
bertindak. Memang, kita tak bisa melakukan hal besar dengan keparahan yang sudah semakin
menjadi-jadi. Sembari pemerintah melakukan tugasnya, cukup dengan memberikan bentuk
perhatian seperti yang saya tuliskan di atas, kegiatan yang dilakukan oleh tak
sedikit mahasiswa dan organisasi seperti membagikan masker ke tempat-tempat
yang perlu perhatian, memberikan himbauan, membuka donasi, serta kegiatan
positif lainnya, akan terlihat lebih baik daripada hanya sibuk memaki kabut
asap atau sekedar update status. Untuk
orang tua kita, biarkan mereka beistirahat cukup. Kalau memang tidak kuat untuk
melangkah pergi ke luar, cukup dengan saling mengingatkan, amankan diri dan
keluarga, konsumsi vitamin dan gizi seimbang untuk memperkuat daya tahan tubuh melawan
tekanan dari luar.
Apakah siklus ini akan terjadi
kembali di tahun-tahun berikutnya? Lagi-lagi, jawabannya ada pada masyarakat
ini sendiri. Maka, ketika kabut asap ini sudah mampu ditanggulangi, teruskan
untuk memberikan dampak positif, jangan hanya berhenti begitu saja. Bahkan
kalau perlu, mulailah untuk menanam lebih banyak pohon dan menata lingkungan.
Keseimbangan alam adalah adalah
alasan untuk manusia bertahan hidup. Kunci utama yang tak bosan-bosannya disuarakan
oleh setiap kalangan, “kesadaran harus dimulai dari diri sendiri”. Karena apa
yang kamu lakukan, orang lain juga akan ikut merasakan. Ciptakan lingkungan
yang nyaman untuk anak-cucu kita di masa depan.
Comments