Skip to main content

Entah

Rasanya tak lagi sama. Bukan aku tak mencinta yang ada. Hanya bertanya kenapa aku menuliskan nama yang tak seharusnya ada. Tapi bagaimana caranya aku berdusta pada pemikiran yang tak ingin bicara? Bahkan, sepertinya tubuhku sendiri yang menyimpan rahasia sehingga membiarkan aku untuk terus bertanya. Hingga pada saat aku terus saja bertanya dan mengambil seluruh simpul untukku buat sendiri, tetap saja tak berjodoh tanpa kerja sama yang nyata. Ingin aku kembali. Menemukan ruang waktu dan mencoba bertanya dengan objek yang kugoreskan pada pena. Gerangan apakah yang ingin kau sampaikan? Kau menunjukkan tanpa pernah memberi simpul yang nyata. Apa kau merekam hal serupa? Merekam jalanan kota yang meninggalkan jejak di setiap sudutnya. Jejak-jejak yang berdekatan tanpa pernah meninggalkan. Jejak-jejak yang menyimpan rangkaian cerita di sepanjang jalan kota. Aku jengah ketika kau bicara atau sekedar menyapa. Ketika tubuh dan pemikiranku benar-benar sedang berdamai. Aku mulai menari didetik-detik itu karena rasa kesenangan tiada tara. Lupa bahwa aku pernah memikirkan untuk membenci dan tak pernah ingin membuat simpul baru dari orang yang berbeda.

Aku terus menari. Terus menari. Terus menari. Hingga, aku tersadar. Aku harus berhenti. Aku harus pulang. Menghentikan jejak yang telah ku buat dan yang kau cipta. Sayangnya, terlalu banyak tanda tanya yang masih tertinggal dan berjatuhan begitu saja tanpa mengingat kembali ketika akan beranjak pergi.

Aku kembali merangkai simpul yang kugenggam lama. Aku lupa sejenak tentang rekam jejak yang ku buat di seberang sana. Aku terlalu sibuk bercinta dengan tawa. Senja pun tak mengingatkan apa-apa.

Kau memendam dan kau mulai menyadari bahwa kau telah terjebak. Kau terlalu asik berbincang dengan perasaanmu sendiri, merangkai cerita sendiri, untuk melakukan pembenaran dari sebuah harapan. Kau kumpulkan segala kesenangan yang hanya sementara tanpa meyakinkan apa-apa. Adakah kau menjadi lupa diri? Kau lupa bahwa kau dapat dimengerti.  Tidak. Bukan apa-apa. Lupakanlah apa yang tersampaikan barusan. Pemikiranku dengan tubuhku sendiri sedang tak sejodoh. Ia mencoba merahasiakan sesuatu dariku. Segala kecemasan dan kebingungan kukatakan padanya. Ia hanya bereaksi seperti orang yang tengah kacau tanpa menjelaskan apa-apa tentang perbuatannya. Yang pasti, aku tak sedang bernegosiasi dengan perasaanku sendiri seakan aku senang meracuni diri.

Sayang.

Apa yang bisa diangkat dari 6 huruf yang tertulis di atas paragraf ini? Aku hanya meyakini bahwa diluar sana berdiri beribu-ribu filosofi tentangnya. Apa? Bagiku? Baiklah. Bagiku, sayang adalah perasaan yang tak ingin kehilangan, ingin selalu berdekatan, alasan terbaik sebagai penghantar doa disetiap malam, dan ketika hal terburuk menghampirinya, ia melumpuhkan. Dan kau nyatakan perasaan itu tanpa pernah mencoba untuk bertatap muka. Hanya mencari beberapa tanggapan sehingga kau lalai tentang rasa penasaranku yang terus menghantui. Terus bertanya pada orang lain seakan mereka jawabannya. Mencoba bijak namun kau perlahan membuatku tersiksa. Aku benci, selicik itu kah kau menyembunyikan luka dalam tawamu? Hah. Luka. Aku pikir tak seburuk itu. Lihatlah, kau mulai berpaling seakan aku pernah menyangkal kehadiranmu. Bahkan aku tak menjawab apa-apa. Salahmu yang tak menatapku dan melukiskan keadaanmu didepanku seakan kau tak ada apa-apa dengan cerita yang lalu. Aku tak dapatkan apa-apa selain tanda tanya yang masih bergelantungan dalam setiap waktu. Lalu penjelasan apa yang dapat memperkuat segala keyakinan bahwa kau benar mencoba mengobatinya dengan caramu sendiri? Meski pada akhirnya akan tetap kusampaikan hal yang sama, sebelum jauh hari aku memikirkannya. Setidaknya, bukankah waktu berdua lebih baik dari apapun? Kau akan tau bagaimana rasanya dipeluk hangat oleh nafasmu sendiri ketika ia meredam detak jatung yang berkejaran.


Comments

Popular posts from this blog

Kita dan Restu Semesta

Maaf, jika suatu saat cerita kita hanya tertinggal sebagai sebuah kenangan. Ini semua bukan rencanaku, sungguh. Yang aku tahu hanyalah apa yang tengah kita jalani saat ini adalah apa yang dipertentangkan oleh semesta. Kita sejalan, mereka tidak. Dan bagaimana mungkin kita bisa hidup jika semesta tidak memberikan tempat? Oh, betapa aku mengerti ini semua begitu menyiksa. Aku tak bisa untuk tidak meluapkan tangis setiap kali hubungan kita, tentangmu, diperdebatkan. Aku yang berulang kali harus berpura-pura jika tanpamu aku baik-baik saja di hadapan semesta, begitu terluka. Mengetahui bagaimana kita di masa yang akan datang, membuatku harus memberikan banyak  pain   killer  untuk hatiku. Dan untuk memberitahu padamu bahwa aku telah mengetahui ini semua, aku ingin mati saja. Bagaimana mungkin aku mampu untuk mengatakan padamu agar bisa mengikhlaskanku?  Tidak sekali-dua kali aku melihatmu berjuang dalam ketidakberdayaanmu untuk menghancurkan egoku kala aku seda...

Pa.. Ma..

Ma, seandainya bisa berkata, aku tidak ingin menikah saja. Kehilangan dia membuatku kehilangan asa atas pencarian segalanya. Aku kehilangan tujuan karena pernah membangun harapan dan cita saat bersamanya yang membuatku menguras habis segala kepercayaanku, sehingga ketika ia pergi aku tidak punya alasan lagi untuk apa dan siapa aku harus mengambil langkah dalam hubungan yang baru. Ma, maaf jika kehilangannya membuatku begitu tak berdaya. Tapi aku benar-benar tidak tau lagi bagaimana cara menata kembali hatiku yang masih penuh dengan harapan, ingatan, dan kenangan tentangnya. Membuang itu semua pun sama seperti membunuh diri. Karena hanya harapan dan kenangan itulah yang bisa membuatku setidaknya bisa berdiri hingga detik ini. Menyadari bahwa aku pernah begitu berharga untuk hidupnya. Menyadari bahwa aku pernah dicintai dengan begitu hebatnya. Meski harus usai, jiwaku masih begitu melekat pada setiap kenangan itu. Dan jika harus terus melanjutkan hidup, beginilah adanya hidup ingin ku ...

Berubah Haluan

Dalam beberapa kejadian lampau, banyak, kita sedang larut-larutnya dalam persembahan tawa. Semua itu adalah hal paling menyenangkan untuk kita. Membuat cerita yang membuat iri setiap pasang mata. Kisah kita, begitu istimewa.  Hingga kemudian.. lenyap secara perlahan. Lalu bagaimana dengan saat ini? Aku tak mampu mengambil peran itu lagi. Pun jika aku bisa, kau tak lagi bersedia untuk bergabung bersama. Aku terus berjalan, kau berubah haluan. Kembali ku ajak, langkahmu bertolak. Besok-besok, kita tak lagi berada pada cerita yang serupa. Secepat itu, kita menjadi dua orang yang tak lagi saling sapa. Bukan panggung sandiwara yang pernah kita naiki. Adalah cerita sesungguhnya yang kita miliki. Tapi tujuanmu telah berubah, persinggahan tlah diganti. Sempat pelik dunia kita sampai kau memutuskan untuk pergi. Kau tlah membuat cerita barumu, aku masih dengan cerita dulu. Dunia kita tak lagi saling bersitegang, mungkin. Namun jelas bagiku, tak lagi dalam usaha tuk kembali. ...