Rasanya
tak lagi sama. Bukan aku tak mencinta yang ada. Hanya bertanya kenapa aku
menuliskan nama yang tak seharusnya ada. Tapi bagaimana caranya aku berdusta
pada pemikiran yang tak ingin bicara? Bahkan, sepertinya tubuhku sendiri yang
menyimpan rahasia sehingga membiarkan aku untuk terus bertanya. Hingga pada
saat aku terus saja bertanya dan mengambil seluruh simpul untukku buat sendiri,
tetap saja tak berjodoh tanpa kerja sama yang nyata. Ingin aku kembali.
Menemukan ruang waktu dan mencoba bertanya dengan objek yang kugoreskan pada
pena. Gerangan apakah yang ingin kau sampaikan? Kau menunjukkan tanpa pernah
memberi simpul yang nyata. Apa kau merekam hal serupa? Merekam jalanan kota
yang meninggalkan jejak di setiap sudutnya. Jejak-jejak yang berdekatan tanpa
pernah meninggalkan. Jejak-jejak yang menyimpan rangkaian cerita di sepanjang
jalan kota. Aku jengah ketika kau bicara atau sekedar menyapa. Ketika tubuh dan
pemikiranku benar-benar sedang berdamai. Aku mulai menari didetik-detik itu
karena rasa kesenangan tiada tara. Lupa bahwa aku pernah memikirkan untuk
membenci dan tak pernah ingin membuat simpul baru dari orang yang berbeda.
Aku
terus menari. Terus menari. Terus menari. Hingga, aku tersadar. Aku harus
berhenti. Aku harus pulang. Menghentikan jejak yang telah ku buat dan yang kau
cipta. Sayangnya, terlalu banyak tanda tanya yang masih tertinggal dan
berjatuhan begitu saja tanpa mengingat kembali ketika akan beranjak pergi.
Aku
kembali merangkai simpul yang kugenggam lama. Aku lupa sejenak tentang rekam
jejak yang ku buat di seberang sana. Aku terlalu sibuk bercinta dengan tawa.
Senja pun tak mengingatkan apa-apa.
Kau
memendam dan kau mulai menyadari bahwa kau telah terjebak. Kau terlalu asik
berbincang dengan perasaanmu sendiri, merangkai cerita sendiri, untuk melakukan
pembenaran dari sebuah harapan. Kau kumpulkan segala kesenangan yang hanya
sementara tanpa meyakinkan apa-apa. Adakah kau menjadi lupa diri? Kau lupa
bahwa kau dapat dimengerti. Tidak. Bukan
apa-apa. Lupakanlah apa yang tersampaikan barusan. Pemikiranku dengan tubuhku sendiri sedang tak sejodoh. Ia mencoba merahasiakan sesuatu dariku.
Segala kecemasan dan kebingungan kukatakan padanya. Ia hanya bereaksi seperti
orang yang tengah kacau tanpa menjelaskan apa-apa tentang perbuatannya. Yang
pasti, aku tak sedang bernegosiasi dengan perasaanku sendiri seakan aku senang
meracuni diri.
Sayang.
Apa
yang bisa diangkat dari 6 huruf yang tertulis di atas paragraf ini? Aku hanya
meyakini bahwa diluar sana berdiri beribu-ribu filosofi tentangnya. Apa?
Bagiku? Baiklah. Bagiku, sayang adalah perasaan
yang tak ingin kehilangan, ingin selalu berdekatan, alasan terbaik sebagai
penghantar doa disetiap malam, dan ketika hal terburuk menghampirinya, ia
melumpuhkan. Dan kau nyatakan perasaan itu tanpa pernah mencoba untuk
bertatap muka. Hanya mencari beberapa tanggapan sehingga kau lalai tentang rasa
penasaranku yang terus menghantui. Terus bertanya pada orang lain seakan mereka
jawabannya. Mencoba bijak namun kau perlahan membuatku tersiksa. Aku benci,
selicik itu kah kau menyembunyikan luka dalam tawamu? Hah. Luka. Aku pikir tak
seburuk itu. Lihatlah, kau mulai berpaling seakan aku pernah menyangkal
kehadiranmu. Bahkan aku tak menjawab apa-apa. Salahmu yang tak menatapku dan
melukiskan keadaanmu didepanku seakan kau tak ada apa-apa dengan cerita yang
lalu. Aku tak dapatkan apa-apa selain tanda tanya yang masih bergelantungan
dalam setiap waktu. Lalu penjelasan apa yang dapat memperkuat segala keyakinan
bahwa kau benar mencoba mengobatinya dengan caramu sendiri? Meski pada akhirnya
akan tetap kusampaikan hal yang sama, sebelum jauh hari aku memikirkannya.
Setidaknya, bukankah waktu berdua lebih baik dari apapun? Kau akan tau
bagaimana rasanya dipeluk hangat oleh nafasmu sendiri ketika ia meredam detak
jatung yang berkejaran.
Comments