“Makan sendirian?”
“Nggak masalah”
Ya,
bagi sebagian orang itu biasa saja. Tapi ini bukan tulisan orang lain, ini
tulisan saya. Karena semewah-mewahnya waktu, bagi saya adalah waktu saat makan
bersama. Dengan siapapun itu. Namun, harus saya tekankan bahwa makan bersama
keluargalah yang nomor 1. Entah, apakah anda sependapat atau tidak, bagi saya
ini hal yang berharga.
Di
dalam sebuah rumah yang sama. Di bawah satu atap yang tak beda. Keluarga. Bagi
sebagian orang, yang orang tuanya memiliki kesibukan dan jam pulang kerja yang
berbeda, atau yang memiliki jam kerja hingga larut malam, bahkan dikepulangan
telah mendapati isteri atau anak-anaknya sudah tertidur pulas, atau yang kerap
kali berselisih akan jam makan, mungkin sudah terbiasa. Saya katakan ini hanya
“mungkin”. Mungkin lagi, makan bersama adalah keinginan terbesar diantara salah
satunya atau semua dari mereka, namun sulit untuk didapatkan. Percayalah,
sekilas ini terlihat seperti perkara kecil yang tak perlu dibahas. Amatilah,
jika kamu mengerti, makan bersama adalah waktu yang harusnya didapati.
Dari
beberapa teman, saya mendapatkan penuturan tentang hal ini. Diantaranya ada
yang memiliki keluarga memang jarang bisa makan bersama di satu meja makan yang
sama, walaupun keluarga ini kehadirannya ada di satu rumah yang ditinggali.
Lebih mudahnya untuk memahami: seperti kamu, orang tuamu, saudara-saudaramu, tak
ada yang sedang berpergian atau bekerja, dibuat sebuah permisalan hari ini
adalah hari libur, namun tak ada diantaranya yang mengajak atau bersuara untuk
makan bersama. Anggaplah seperti “kalau kamu lapar, makanlah. Ambillah lauknya
sendiri di dalam lemari.” Setelah itu? Ya, makanlah sendiri. Yang lainnya hanya
akan sibuk dengan aktifitas sendiri. Intinya, mereka akan makan apabila mereka
merasa lapar dan ingin, tanpa harus saling menunggu untuk bersama. (Mungkin,
kamu akan berpikir “kenapa harus menunggu yang lain kalau sudah lapar?).
Sepertinya, bagi mereka yang seperti ini “makan bersama” bukanlah satu hal yang
harus diambil pusing lantas diperdebatkan.
Ada
juga yang lainnya. Seperti: orang tua yang memang memiliki jam kerja panjang
dan padat sehingga dalam sehari akan sulit menyisihkan waktu untuk makan
bersama anak-anaknya. Kemudian, mereka hanya akan memberi uang jajan kepada
anak-anaknya lalu membiarkan anak memilih makan di luar sendiri tanpanya.
Memang, ini praktis.
Masih
banyak cerita lainnya lagi. Terlalu bermacam bahkan. Setelah ini saya hanya
akan bercerita sedikit kenapa saya menganggap “makan bersama” adalah waktu yang
berharga.
Di
setiap pagi, kami mungkin tidak akan selalu bisa sarapan bersama. Alasannya,
terkadang jam sekolah kami harus menuntut datang lebih awal karena jadwal piket
kelas, atau karena terlambat bangun, sehingga tak dapat mengambil waktu untuk
sekedar duduk di meja makan di pagi hari. Terkadang, Ayah yang harus bergegas
karena harus rapat dadakan atau pertemuan semacamnya lebih pagi. Atau, Mama
yang harus menyelesaikan pekerjaan lain sehingga tak sempat menyiapkan untuk
makan bersama. Namun, ketika hari libur tiba, kami merapatkan diri ke meja
makan di pagi hari. Tentunya untuk sarapan bersama. Anggaplah bayaran akan
hari-hari sebelumnya meskipun hanya di hari libur. Tapi yang pasti, akan ada
sarapan bersama walaupun itu hari kerja atau hari sekolah. Tentunya ketika
diantara kami tak ada yang sedang diburu. Dan yang selalu saya ingat, di atas
meja setiap pagi tak pernah absen cangkir-cangkir minuman hangat. Pernah suatu
ketika Ayah berkata, “Jika tak sempat sarapan, isilah perut walau hanya sekedar
dengan minuman hangat”. Siapa yang menyiapkannya disetiap pagi? Dialah Ayah
yang akan bangun lebih Shubuh untuk menyiapkannya.
Makan
siang. Inilah salah satu waktu yang paling sulit untuk berkumpul. Entah karena
orang tua belum pulang kerja atau jam pulang sekolah kami yang belum selesai.
Namun, tak jarang juga kami akan tetap bisa makan bersama. Terkadang Ayah
sengaja menyempatkan pulang di sela jam kerja hanya untuk makan di rumah.
Karena percayalah, Ayah tak akan bisa makan di luar atau di tempat lain ataupun
di kantor, ketika Mama masih ada di rumah, memasak, dan menyiapkan makan
untuknya. Setelah selesai makan siang, dia baru kembali lagi ke kantor,
meskipun jarak rumah-kantor tak cukup dekat. Dan, ini momen yang agak aneh tapi
saya terkesan. Ketika Mama belum pulang dan Ayah yang pulang lebih awal. Saat
Ayah tahu kalau makanan memang sudah siap sebelumnya, namun tak ada mama, Ayah
tak akan makan. Ayah akan menunggu. Ketika di awal terasa aneh, hingga saya sangat
hapal sekali kebiasaannya. Ia tak akan makan jika Mama belum pulang. Lapar?
Tentu. Tak jarang pula Ayah menunggu hingga larut. Sehingga terkadang diantara
kami harus membujuknya. Pun terkadang, saya harus bilang ini lucu.
Makan
malam. Ya! Ini yang sangat dirindukan ketika seperti saat ini saya sedang jauh
dari mereka. Biasanya akan ada perdebatan kecil, namun tak bersitegang. Dan,
diakhir makan malam biasanya akan ada banyak cerita. Ya, saling bertukar
cerita. Tentang apa saja yang dilalui hari itu, tentang apa yang dialami, dan
tentang siapa saja yang ditemui. Kalau-kalau ada suasana tegang, Ayah akan
mengambil peran, dan melempar sebuah lelucon. Wah, sepertinya banyak menampilkan
peran Ayah di sini. Baiklah. Mama juga. Biasanya Mamalah yang paling banyak
bercerita dan memancing kami juga untuk bercerita. Dan, tahukah kamu?
Sebenarnya inilah waktu yang harusnya tak bisa ditinggalkan. Terutama saya
sendiri. Dan, bagi kedua orang tua saya, mereka sangat menekankan. “Luangkanlah
waktu untuk makan malam bersama. Ketika kalian punya cerita dan keluh kesah,
setelah makan kita dapat berbagi. Karena komunikasi diantara orang tua dan
anak-anaknya itu sangat penting di mana di waktu yang lain kita sibuk dengan
kegiatan masing-masing.”
Saya
semakin sadar lagi ketika seperti ini (kuliah jauh dari orang tua), tinggal
sendiri. Bukan masalah enak, lezat, atau nikmatnya makanan, bukan tentang
“kerennya kalau kita pernah makan ini-itu”, bukan juga tentang beragamnya
pilihan makanan di luar sana yang bisa dipilih sekehendak hati, bukan pula
tentang “suka-suka gue mau makan apa
aja dan kapan aja nggak ada yang
ngatur-ngatur lagi”.
Well, enough. Ini hanya sekedar cerita. Bagaimana pandangan saya
(sebagai seorang anak) dan sebenarnya ada sebagian kecil yang hanya ingin
menyerukan bahwa saya sangat tak ingin meninggalkan waktu-waktu itu. Tak ada
yang dilebih-lebihkan. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, saya hanya
mengambil contoh satu hal yang saya anggap paling berharga. Pastinya setiap
individu juga memiliki hal-hal berharga versinya sendiri. Wah, kalau untuk
memilah yang mana yang paling berharga mungkin agak sulit, karena semua yang
dilalui bersama keluarga itu the best
thing, ever! Isn’t it right? Jadi, untuk kalian yang masih memiliki waktu
yang banyak untuk bersama, gunakanlah sebaik-baiknya. Karena, ketika kamu mulai
tumbuh dewasa, kuliah di luar kota jauh dari orang tua like my case, atau mulai dituntut pekerjaan ketika sudah sangat dewasa
dimana profesionalitas harus dibawa kemana-mana, bahkan ketika kamu dilamar dan
menikah lalu membangun rumah yang lain bersama keluarga kecil kamu yang baru,
semua waktu itu pasti akan di cari dan bagi anak-anak perempuan akan menangisi
meminta waktu-waktu seperti itu kembali. Karena begitulah, semesta ini memang
unik. Pertemuan dengan keluarga yang selalu terjadi setiap hari, lambat laun
akan terbagi dengan yang lainnya lagi.
“Let us
make one point, that we meet each other with a smile, when it is difficult to
smile. Smile at each other, make time for each other in your family.”-
Mother Theresa
Comments